POIN PENTING
- Anak jadi korban utama razia Agustus.
- Data penangkapan KontraS dan Polda berbeda.
- Korban alami penyiksaan, pelecehan, dan penggundulan paksa.
- ICJR: sistem hukum permisif, reformasi Polri mutlak.
- Kompolnas & akademisi: diskresi polisi sering disalahgunakan.
Dugaan Penyiksaan dan Pelecehan Seksual oleh Polisi di Surabaya
SA, seorang pelajar laki-laki berusia 17 tahun, ikut ditangkap dalam gelombang aksi massa di Surabaya, 29–31 Agustus lalu. Dalam video yang dirilis KontraS Surabaya, ia menceritakan penyiksaan yang dialami di markas Polrestabes Surabaya.
SA menuturkan, saat di Polrestabes ada sekitar 150 orang lain yang sudah ditangkap. Mereka dikumpulkan di satu ruangan. Saat tes urin, mereka semua dipaksa membuka celana dan mengoleskan balsem ke alat kelamin sebelum buang air kecil.
“Misalnya saya kan yang ngasih balsem duluan. Ngasih balsem si A lah, terus gantian si B yang ngasih si A. Gantian gitu. Rasanya panas sekali. Kalau tidak kencing, mereka mengancam akan memukuli kami,” katanya.

Akibat pemukulan, mata kanannya bengkak, hidung berdarah, perut memar, dan sulit makan karena ulu hati sakit.
AS, korban lain yang juga ditangkap malam itu, bercerita tentang penyiksaan yang dialaminya. Bersama ratusan orang lain, ia mengaku dipaksa lepas baju, dipukul dengan tongkat, sabuk kulit, dan selang air.
“Kami dipaksa jalan jongkok dari lantai satu hingga lantai empat. Kalau ada yang jatuh, kami ditendang dan dipukul dengan selang, tongkat, dan sabuk. Kena punggung,” katanya.
Ia tidak ingat siapa saja yang melakukan pemukulan. Yang jelas, ada yang berseragam cokelat, seragam Brimob, dan ada juga yang mengenakan baju batik.
“Polisi-polisi yang memukul itu ada juga yang kalau menurut saya sudah pangkat tinggi. Kenapa sudah tinggi? Karena mereka tidak memakai seragam. Mereka memakai baju batik yang sangat rapi,” lanjutnya.
Saat dibebaskan, ia kaget motornya yang semula bersih dan terawat hancur tidak berbentuk. Radiator dan tutup oli hilang, lampu-lampu pecah, dan bodi rusak.
“Itu pun kalau saya tanya ke tukang bengkel, kalau benerin kurang lebih Rp2 jutaan,” keluhnya.
Temuan KontraS: Anak Jadi Korban Utama
KontraS Surabaya dalam laporan “Razia Agustus di Jawa Timur” mencatat, sejak 29 Agustus hingga pertengahan September 2025, sedikitnya 865 orang ditangkap di Surabaya, Kediri, Jember, Malang, Blitar, Sidoarjo, dan Madiun. Dari jumlah itu, 657 orang dibebaskan, sementara 209 dijadikan tersangka, termasuk 79 anak-anak.
Data ini berbeda dengan data Polda Jatim yang menyebut 997 orang ditangkap, terdiri dari 582 dewasa dan 415 anak-anak. Polisi menyebut ada 315 tersangka, namun tidak merinci jumlah tersangka anak.
“Banyak tahanan, baik dewasa maupun anak-anak, mengalami pemukulan brutal hingga penyiksaan. Ada juga laporan pelecehan seksual,” ungkap Fatkhul Khoir, Koordinator Advokasi KontraS Surabaya.
Fatkhul menilai operasi ini menunjukkan ketidakmerataan diskresi hukum. Di Blitar, Malang, dan Jember, anak-anak hanya diwajibkan lapor. Tetapi di Surabaya, Sidoarjo, dan Kediri, mereka diperlakukan layaknya orang dewasa dan menghadapi kriminalisasi.
“Laporan atau aduan yang masuk ke kami mayoritas orang yang ditangkap di Surabaya dipaksa dicukur rambutnya oleh polisi,” kata Khoir.
Ia menilai tindakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas, justru menjadi bentuk penghukuman di luar mekanisme peradilan dan merendahkan martabat manusia.

Seperti yang dialami Saiful Amin alias Sam Umar (29), aktivis mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan terkait aksi massa di Kediri pada akhir Agustus lalu.
Penasihat hukum Saiful Amin, Taufiq Dwi Kusuma dari LBH Al-Faruq Kediri, menyayangkan tindakan kepolisian yang melakukan penggundulan terhadap Sam Umar atau SA.
“Alhamdulillah sejak saya dampingi sampai hari ini kondisinya Saiful Amin maupun Selvin Bima itu baik-baik saja, cuma yang sedikit agak kami kecewa itu adalah digundul,” kata Taufiq.
Meskipun pihak kepolisian berdalih alasan kesehatan, ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
“Setelah saya protes, tidak ada lagi tersangka lain yang digunduli ketika ditahan,” ucapnya.
Hal lain yang juga jadi sorotan adalah terkait penyitaan barang pribadi seperti ponsel, dompet, motor, dan kartu pelajar. Pelajar yang pernah ditangkap dan sudah dilepas tidak bisa mengambil ponsel. Polisi beralasan ponsel mereka disita dan masih proses digital forensic.
“Banyak anak-anak yang sudah dilepas tidak bisa kembali beraktivitas normal karena barang-barang mereka, mulai dari ponsel hingga kartu identitas, disita polisi dan tidak dikembalikan,” ungkap Fatkhul.
Fatkhul Khoir juga menyoroti kriminalisasi pemikiran yang ditandai dengan penyitaan buku-buku filsafat, teori kritis, Marxisme, hingga anarkisme dari sejumlah orang yang ditangkap. Buku-buku tersebut dijadikan barang bukti untuk mengaitkan individu dengan dugaan penghasutan.
Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) PBB melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, sehingga segala bentuk penyiksaan, termasuk pemaksaan, penggundulan, hingga pelecehan seksual yang dilaporkan korban, dilarang secara mutlak.
Reformasi Polri Mutlak Dilakukan
Maidina Rahmawati, Deputi Direktur ICJR, mengatakan kekerasan yang dilakukan polisi bukanlah kejadian baru. “Ini praktik yang terus terjadi tapi seolah tidak ada solusi, karena sistem hukumnya terlalu permisif,” kata Maidina.
Maidina mencontohkan penyiksaan dalam kasus pidana mati yang biasanya baru terungkap setelah sidang berlangsung.
“Bukti biasanya sudah hilang, karena semua terjadi di ruang gelap penyidik. Pemeriksaan dan penahanan juga tidak diawasi CCTV independen. Inilah celah yang membuat perlakuan sewenang-wenang kerap terjadi,” katanya.
Terkait langkah hukum yang bisa ditempuh korban untuk mendapatkan keadilan, ia menyebut praperadilan sebagai opsi. Namun jalannya sangat berat.
“Praperadilan itu sulit, karena korban harus membuktikan sendiri. Sementara pemeriksaan yang dilakukan tidak substantif,” ujarnya.
Sebagai solusi jangka panjang, ia menilai reformasi kepolisian mutlak diperlukan. Rekomendasinya jelas: kewenangan polisi harus dikurangi agar tidak rawan disalahgunakan.
Kompolnas: Polisi Jangan Merendahkan Martabat Manusia
Menanggapi kesaksian sejumlah korban penangkapan di Surabaya yang mengaku diperlakukan secara tidak manusiawi, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Khoirul Anam, menjelaskan bahwa tindakan eksesif dan merendahkan martabat manusia (inhuman degrading treatment) tidak boleh dilakukan dalam tahap apa pun, baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan.
“Perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat jelas dilarang pada tahapan penyelidikan apa pun, baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan resmi,” tegas Anam, Rabu (24/9/2025).
Ia menambahkan, Kompolnas sejak awal sudah mewanti-wanti agar kepolisian tidak melakukan tindakan eksesif dalam penanganan demonstrasi maupun penangkapan massa.
“Sejak awal kami sudah wanti-wanti tidak boleh melakukan tindakan yang eksesif (kekerasan berlebih, red),” ujarnya.
Anam juga memastikan pihaknya akan menelusuri lebih jauh dugaan pelecehan seksual yang dialami para korban di Surabaya.
Menurutnya, Kompolnas telah memberikan peringatan kepada sejumlah Kepolisian Daerah (Polda) untuk menghindari tindakan serupa dan memastikan penegakan hukum berjalan sesuai prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Diskresi Polisi Harus Berbatas, Bukan Alat Represi
Menanggapi temuan KontraS Surabaya soal ketidakmerataan diskresi hukum, Satria Unggul Wicaksana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, menegaskan bahwa kewenangan diskresi atau freies Ermessen yang dimiliki polisi tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang.
Satria menjelaskan bahwa diskresi seharusnya digunakan untuk menjaga ketertiban umum (public order), bukan menjadi dalih bagi aparat untuk bertindak berlebihan.
“Kewenangan diskresi, atau freies Ermessen yang dimiliki polisi memiliki batas dan tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang. Untuk kasus yang melibatkan anak atau kekerasan berat, diskresi kepolisian seharusnya mengarah pada keadilan restoratif dan diversi,” jelasnya.
Diskresi kepolisian menurutnya digunakan untuk mengembalikan anak kepada orang tuanya, bukan mendorong mereka masuk ke dalam proses kriminalisasi yang justru merusak masa depan.
“Dan yang tidak kalah penting lagi adalah bagaimana jaminan dan akuntabilitas dari semua proses penegakan hukum, termasuk penggunaan kewenangan diskresi. Karena sekali lagi, secara filosofis, diskresi diperuntukkan untuk menjaga ketertiban publik, bukan untuk memunculkan kewenangan eksesif bagi penegak hukum,” tegasnya.
Dengan berbagai catatan itu, ia menyerukan perlunya reformasi kepolisian guna mencegah impunitas serta memastikan bahwa penggunaan diskresi benar-benar berpihak pada keadilan, bukan menjadi instrumen represi.
Polrestabes Surabaya Belum Beri Komentar
Terkait pengakuan korban dalam video yang ditayangkan KontraS Surabaya, Idenera telah melakukan upaya konfirmasi melalui Kasi Humas Polrestabes Surabaya, AKP Rina Shanty Dewi.
Tim menghubungi Rina sejak 24 September 2025 melalui pesan singkat. Kami mengirimkan pesan berisi poin-poin terkait dugaan penyiksaan terhadap sejumlah orang yang ditangkap selama aksi demonstrasi.
Rina hanya membalas, “Terima kasih informasinya.”
Hingga 25 September 2025, sesaat sebelum berita ini dipublikasikan, Idenera kembali mengirimkan dua pesan baru untuk meminta tanggapan Polrestabes. Dua pesan terakhir juga tidak dibalas.
Tinggalkan Balasan