gtag('config', 'G-Q2NVKJDWRH');
397 0

Tembakau Paiton: Daun Emas Terancam Krisis Iklim 

Penurunan kualitas dan produktivitas tembakau juga disebabkan oleh hujan asam akibat aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton.

POIN PENTING:

  • Krisis iklim bikin gagal panen tembakau di Paiton.
  • Jumlah petani tembakau terus menurun.
  • PLTU Paiton merusak kualitas tanah dan tembakau.
  • Petani tetap menanam meski sering merugi.

TEMBAKAU masih menjadi salah satu komoditas andalan yang ditanam mayoritas petani di Kabupaten Probolinggo, khususnya petani di Kecamatan Paiton dan Kotaanyar, Probolinggo. Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo menargetkan luas tanam tembakau di tahun 2025 12.519 ha dengan varietas unggulan Tembakau Paiton VO seluas 11.254 ha, Tembakau Jawa 1.156, dan Tembakau Kasturi 109 ha. 

“Jika seluruh target areal tanam terpenuhi dan kondisi cuaca mendukung hingga masa panen, tentu ini akan berdampak positif bagi kesejahteraan petani. Sekaligus menggerakkan roda perekonomian daerah,” ujar Pelaksana Harian (Plh) Kepala Bidang Sarana Penyuluhan dan Pengendalian Pertanian Disperta Kabupaten Probolinggo, Evi Rosella.

Namun, seiring berjalannya waktu, komoditas yang kerap disebut sebagai daun emas atau emas hijau itu tinggal cerita. Sensus Pertanian Kabupaten Probolinggo 2013 mencatat jumlah rumah tangga usaha tembakau di Kecamatan Kotaanyar sebanyak 5.892, sedangkan di Kecamatan Paiton 5.608. 10 tahun kemudian, pada Sensus Pertanian 2023 jumlah itu menurun drastis, yakni 3.795 di Kecamatan Kotaanyar dan 3.669 di Kecamatan Paiton.

Kondisi tersebut menunjukkan petani tak lagi merasakan buah manis hasil panen tembakau. Musababnya disumbang oleh berbagai macam faktor. Mulai dari monopoli gudang, dampak langsung Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton hingga dampak tidak langsung seperti krisis iklim. 2025 menjadi tahun paling diingat oleh petani karena sejak masa tanam hingga panen hujan deras mengguyur. Kualitas menurun, bahkan tak sedikit tembakau yang layu hingga gagal panen.

Lantas kenapa petani masih menanam tembakau? 

Ahmad Zaini sedang memperbaiki tanaman tembakaunya yang roboh karena diterjang hujan, Rabu (20/08/2025). Foto : Abdul Haq

Anjlok Petani Sekarang

Sebermula suara Suliman (bukan nama sebenarnya) tampak bersemangat. Di ruang tamu yang sederhana ia mengisahkan pusparagam perjalanan kehidupannya dengan antusias. Sesekali asap kretek dan sesungging senyum mewarnai cerita-ceritanya.

Gerakan tangan Suliman menambah keseruan kisah-kisahnya. Di usia udzur, ingatan akan masa silam masih pejal di kepalanya. Tembakau menjadi salah satu faset kehidupan yang tak luput ia ceritakan.

Namun, tiba-tiba raut muka Suliman berubah muram. Pria berkopyah hitam itu tak lekas menjawab pertanyaan tentang kondisi petani tembakau di tahun ini. Ia menyandarkan tubuhnya. Sedang matanya memandang lantai rumah. Suliman menghela napas dalam-dalam. Suaranya berubah parau. Sebatang kretek yang baru ia bakar diletakkan di asbak.

“Rugi petani tembakau sekarang,” katanya lirih saat ditemui di rumahnya, Sabtu (19/07/2025)

Suliman adalah seorang petani Dusun Kabuaran, Desa Kotaanyar, Kecamatan Kotaanyar, Kabupaten Probolinggo. Tembakau adalah komoditas yang biasa ia tanam di kala musim kemarau. Namun, kondisi tanamannya membuat Suliman berkali-kali menuturkan kalimat bernada pasrah.

Duh, nyamanah uji’nah petani. [Duh, itu ujiannya petani].

Tumbuh-kembang 15.000 tanaman tembakau Suliman tak normal. Ribuan bibit tembakau yang ia tanam di bulan Juni mati. Tak sekali-duakali ia harus mengganti bibit yang mati (ngangsâlèn). Sehari sebelum persamuhan itu, ia harus mengganti 2000 bibit tembakau. Imbasnya, pertumbuhan tembakau Suliman tak seragam.

Menanam tembakau di tahun 2025 justru membawa kabar buruk bagi Suliman. Hujan adalah musabab bibit-bibit itu mati. Hujan memang bukan hal baru bagi petani tembakau. Namun, mula-mula, hujan itu hanya turun sesekali dengan intensitas yang tidak terlalu deras. Bahkan, Suliman mengenang di tahun 1998 hujan turun deras hingga menyebabkan banjir. 

“Tapi nggak seberapa. Tidak separah sekarang. Yang parah itu sekarang. Di tahun 2020, itu juga ada hujan. Paling dua kali tiga kali

Hujan tak hanya membuat bibit-bibit itu mati. Bibit yang masih bertahan kualitasnya pun menurun drastis. Baik secara corak hingga tonase yang ringan. Suliman mengisahkan hasil panen pertama milik tetangga di belakang rumahnya menghasilkan empat gulung tembakau dengan berat 30 kilogram. Padahal, bila cuaca normal dan kualitas tembakau baik, hasil panen segitu mampu mencapai lebih dari satu kuintal.

Wong, 1000 bibit tembakau itu, kalau cuaca normal bisa lebih dua kuintal,” ungkap Suliman. “[30 kilogram, red] Genikah kan tak cocok bik lakonah (itu kan nggak sebanding dengan kerjanya.) Anjlok reng tanih senuntoh (anjlok sekarang petani).”

Puso karena hujan di musim kemarau menjadi ancaman yang tak sepele. Pria berusia 60 tahun itu hanya bisa berharap hujan di bulan Juni hingga awal Juli lalu tak lagi turun. Sebab, ia melihat tonase tembakau yang enteng akan membaik di bulan Oktober, dengan syarat cuaca bersahabat dengan petani. Namun jika hujan masih terus turun, “Gi, sobung reng tanih (Ya, habis petani).” 

Padahal dulu petani memiliki pengetahuan lokal untuk memprediksi cuaca. “Lambe’ reng tanih bisa nebek cuaca. Senuntoh tak kening ramal pon (Dulu petani itu bisa memprediksi cuaca, sekarang sudah nggak bisa)” tegas Suliman.

Ribuan tanaman tembakau yang masih pendek di sawah perbatasan Desa Bhinor dan Desa Sumberejo, Kecamatan Paiton layu dan terancam mati dampak hujan deras, Jumat (23/08/2025). Foto : Abdul Haq.

Saya Lelah dan Putus Asa

Putus asa dan lelah adalah ungkapan tedas Aris melihat kondisi tanaman tembakau di empat petak sawah miliknya. Dengan suara serak, pria berusia 80 tahun itu menceritakan 8000 bibit tembakau yang sudah berusia 45 hari diguyur hujan tanpa henti dan mati total. 

Di lahan 800 meter persegi itu, Aris tak hanya ngangsâlèn (mengganti bibit baru) tetapi ia mengulangi semua proses sejak pra tanam seperti membajak tanah.

Aris juga membiarkan 15.000 tembakau di sawah lain di sisi barat, meskipun telah memasuki usia panen. Nasib serupa juga terjadi di sawah bagian timur miliknya. 8000 tembakau hanya tersisa setengah. 

Tager kaso ngangsâlèn (sudah capek mengganti bibit baru). Sampai saya putus asa. Pendet se a romat karena dana (capek saya ngerawatnya karena faktor dana)” ujarnya pasrah.

Di sebuah siang yang terik, Aris mengenakan singlet putih berwarna pudar menghadap tumpukan widik tembakau. Di tanah lapang seluas lapangan futsal itu tembakau milik Aris yang selamat dari guyuran hujan dirajang dan dijemur.

“Ini aja hanya tersisa separuh dari 7000 tembakau,” katanya sembari tersenyum.

Aris tak hanya seorang petani. Ia merupakan mantan blandang (tengkulak). Pria asal Desa Sumberejo, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo itu, mengisahkan kegetirannya selama puluhan tahun berkecimpung di dunia tembakau, baik sebagai petani maupun blandang.

Sekira sepuluh tahun lalu, Aris menebas banyak tembakau dari beberapa daerah. Ia rajang dan jemur di tanah lapang depan rumahnya. Namun, ia tak menyangka, hujan deras mengguyur. Melihat itu, ia berusaha untuk mengangkat, menumpuk, dan menutup widik-widik tembakau jemurannya. Aris kelabakan dan tak mampu menyelamatkan.

“Saya biarkan itu tembakau, saking nggak mampunya. Saya korbankan,” kenang Aris.

“Berhenti tanam tembakau karena tebbesen (tebasan) ruginya terlalu parah. Sampai waktu itu, saya punya beban 30 juta,” imbuhnya lirih.

Hujan deras sepuluh tahun lalu itu membuat Aris tak lagi bersinggungan dengan tembakau. Ia memilih menanam jagung atau padi, di saat petani lain menanam tembakau. Namun, nasibnya juga tak lebih baik. Di musim kemarau 2024, ia menanam padi dan mengalami gagal panen. Di lahan seluas satu haktare, hasil panen padi Aris hanya satu ton lima kuintal. Padahal, normalnya bisa sampai tujuh ton.

Setelah sepuluh tahun absen menanam tembakau, tahun 2025, ia kembali mencoba peruntungan. Di empat petak sawahnya, ia menanam ribuan tembakau. Namun, puso kembali menyerang Aris.

“10 tahun terakhir saya tidak tanam tembakau, baru tahun ini, tapi malah dapat cuaca yang begini. Selama saya bertani tembakau, tahun ini yang paling gagal,” kata Aris.

Petaka Hujan di Bulan Juni – Agustus

Buhari (bukan nama sebenarnya) petani asal Desa Sidorejo, melalui status WhatsApp-nya mengunggah gambar bibit tembakau miliknya mati.

A tani smangken lessoh. Modal a jutaan, bekonah mateh (Sekarang capek jadi petani. Modalnya jutaan, tembakaunya mati),” tulis Buhari dalam gambar tersebut.

Selang lima hari, tepatnya pada 7 Juni 2025 hujan deras kembali mengguyur sebagian besar Kabupeten Probolinggo. Sawah-sawah petani kembali basah dan tergenang banjir. Bibit-bibit tembakau pun rusak dan mati satu persatu. 

Buhari menanam ribuan tembakau pada medio Mei 2025. Hujan membuat ribuan bibitnya mati total dan mengganti dengan bibit baru. Dalam Bahasa Madura disebut ngangsâlèn. Buhari masih menyimpan harap ribuan bibit-bibit anyar itu bisa tumbuh dan berkembang lebih baik. Hasil panen tembakau yang memuaskan di tahun 2024 adalah motivasi terkuatnya.

Namun, Buhari tak menduga di awal-awal bulan Juni, hujan masih terus turun, meski intensitasnya mulai menurun. Hujan di musim kemarau membuat banyak petani tembakau gelisah. 

Kegelisahan petani tembakau bukan hanya matinya bibit-bibit yang mereka tanam. Semakin sering tembakau terpapar hujan, kata Buhari, kualitasnya pun semakin menurun. Baik dari segi tonase, aroma, hingga corak.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat distribusi curah hujan bulanan Kabupaten Probolinggo bulan Mei 2025 sebesar 20 – 500 mm. Sedangkan di bulan Juni 2025, distribusi curah hujan bulanan sebesar 51 – 300 mm. Angka itu turun di bulan Juli 2025 yakni 21 – 100 mm. 

Namun data curah hujan tersebut merupakan anomali karena bulan Mei hingga Juli seharusnya memasuki musim kemarau. Menurut BMKG curah hujan normal di musim kemarau di bawah 60 mm per bulan. Kondisi itu menjadi salah satu musabab kualitas tembakau di tahun 2025 menurun. 

Bahkan, memasuki masa panen pada 19 Agustus 2025 hujan badai mengguyur Kecamatan Paiton dan Kecamatan Kotaanyar yang berlangsung sejak sore hingga sekitar pukul 22.00 WIB. Dampaknya, tanaman tembakau yang siap panen roboh, patah, dan daun-daunnya layu. Sedangkan tembakau yang siap dan sudah dirajang pun terendam air hujan. 

Tanaman tembakau yang roboh dan patah di sawah perbatasan Desa Bhinor dan Desa Sumberejo, Kecamatan Paiton dampak hujan badai, Rabu (20/08/2025). Foto : Abdul Haq]

Analisis dasarian II Agustus 2025 yang dirilis BMKG menunjukkan curah hujan di Kecamatan Paiton dan Kecamatan Kotaanyar menyentuh angka 21 – 100 mm.

Ahmad Zaini sedang sibuk memperbaiki posisi tanaman tembakaunya yang roboh setelah diguyur hujan deras. “Ini risikonya hujan,” ujarnya sembari menegakkan tembakaunya, Rabu (20/08/2025). Hujan tak hanya membuat tanamannya roboh, tetapi juga membuat tonase hasil panen pertamanya menurun drastis. 

“Kemarin punya saya 40 widik itu dapat 23 kilogram. Normalnya 30 – 35 kilogram. Kalau kena hujan kayak gini ini enggak tahu dah kualitasnya dah,” kata Zaini disusul ketawa getir. 

Zaini mengaku hujan di musim tembakau tahun ini turun lebih sering ketimbang tahun 2024 lalu. Dia menyebutkan biasanya di bulan Agustus tak lagi ada hujan. “Akhirnya kualitas tembakau pasti kurang jelek. Sekarang harga murah dan tembakaunya ringan,” ungkap Zaini. 

“Ini siap dah, siap panen. Tapi kayak gin (roboh dan layu). Hancur. Hancur,” imbuh Zaini lirih.

Sejak PLTU Berdiri, Kualitas Berubah

Penurunan hasil panen dan kualitas tembakau petani kian diperparah oleh aktivitas produksi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton, tahun 1994. Dampaknya terasa sangat parah pada awal-awal tahun 1997-2000. Debu-debu batubara dan fly ash tampak terlihat di daun-daun tembakau petani. Daun-daun tembakau berwarna hitam. Kualitas rajangannya pun menurun drastis.

Se cek nampa’en nikah, 1997 sampe tahun 2000. Cek saranah. Sampek tak kening pasat bekoh. Gik pasat tanang. [Yang paling kelihatan jelas itu tahun 1997 sampai tahun 2000. Tembakau sampai tidak bisa dirajang. Ketika masih dirajang manual pakai tangan]. Kalau sebelum ada PLTU, hasil rajangan itu cerah. Saya mulai sadar ada paparan debu batubara itu sejak awal PLTU ada,” ungkap Suliman.

Di tahun-tahun awal operasi, paparan debu di daun-daun tembakau itu membuat PLTU melakukan ganti kerugian. Namun hanya dua tahun pertama, dengan nominal Rp1.500.000/5000 tanaman tembakau. “Tapi itu cuma dua kali. Setelah itu nggak ada,” imbuhnya. Suliman menilai paparan debu PLTU Paiton menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas.

“Kualitas hasil rajangan tembakau yang terpapar debu batubara itu jelek. Kan anjlok terus petani,” kata Suliman menegaskan. “Cuma sekarang [debu PLTU] sudah mendingan sejak dicampur serbuk kayu. Benni tadek. Mending (bukan nggak ada. Mending)” lanjutnya.

Buhari menilai, biasanya, paparan debu PLTU Paiton itu terasa di daun-daun tembakau  terjadi di bulan Juli. Ia menduga, paparan itu juga mempengaruhi kualitas tembakau di Desa Sidorejo. “Kalau dibandingkan sebelum ada PLTU lebih bagus. Mapanan,” tegasnya.

1990-an gik begus kualitasa peko, keng gen bedeh PLTU mulai menurun [Tahun 1990-an masih bagus kualitas tembakau, tapi setelah ada PLTU kualitasnya mulai menurun],” imbuh Sarip menimpali.

“Hawanya sekarang juga panas. Soap (sumuk),” kata Suliman melengkapi.

Hawa dan cuaca yang kian panas, Buhari menambahkan, turut mempengaruhi kualitas tembakau. Ia menyebutkan dulu sekalipun tembakau tidak e tokok dan e turap mampu bertahan dan tidak tua sebelum usianya. Tokok adalah proses pemotongan tunas tembakau untuk meningkatkan kualitas tembakau baik dari segi lebar dan ketebalan daun. Sedangkan nurap adalah kegiatan mengairi sawah.

“Bisa bertahan. Nggak merah. Berarti kan ta’ pateh panas cuaca. Mangken cuaca panas, ta’ sampe’ ngembeng kannah, mera pon daun bawah. Kalau dulu, sekalipun e tokok belum merah. Karena embun banyak dan panas tak terlalu, masih ada angin. Kalau siang itu angin nggak panas,” terang Buhari.

“Itu dulu. Kalau sekarang angin panas. Ya itu tandanya sampe kering daun tembakaunya. Itu bukan tembakau mati. Tembakau yang kelihatannya sehat saja, daun bawah pasti ada merahnya, kering. Bukan karena tembakau mati,” imbuhnya sembari menunjuk daun tembakau yang kering.

Lahan pertanian tembakau yang berdekatan dengan PLTU Paiton di Desa Bhinor, Kecamatan Paiton, Rabu (20/08/2025). Foto: Abdul Haq.

Krisis Iklim, PLTU Paiton, dan Tembakau 

Di bawah langit Kecamatan Kotaanyar yang bahang, Buhari menunjukkan tanaman tembakau yang “selamat” dari hujan. Namun, kualitasnya menurun. Berkali-kali pria bertubuh gempal itu mengulang perkataannya. 

“Ini gara-gara hujan,” kata Buhari. 

Buhari menegaskan kegagalan petani tembakau di tahun 2025 musabab utamanya adalah hujan yang masih deras mengguyur meski telah memasuki musim kemarau. Hujan memang tak melulu membuat bibit-bibit tembakau mati. Namun, yang pasti faktor cuaca memiliki pengaruh besar terhadap kualitas tembakau. 

“Daun tembakau yang memiliki kualitas yang bagus kalau dipegang lengket bergetah. Kayak lem. Berbulu tipis. Tapi karena hujan terus, licin kayak daun pisang, nggak ada lengket-lengketnya. Jadi nggak berat tembakau,” imbuh Buhari menerangkan seraya memegang daun tembakau.

Jangankan hujan, langit mendung saja membuat kualitas tembakau rajangan menurun. Kata Buhari, tembakau dengan kualitas baik memerlukan sinar terik matahari agar kering sempurna, yang pada akhirnya, kondisi tersebut berbuntut pada penentuan harga oleh tengkulak

“Tetangga saya, sudah deal 45 ribu. Tapi ketika jemur, malah mendung, harganya turun jadi 35-40 ribu. Biasanya petani nggak mau ditawar segitu, cuma karena dari segi kualitas saja petani sudah nggak yakin. Akhirnya mau,” ungkap Buhari menceritakan.  

Di samping itu, paparan hujan yang terlalu sering menyebabkan bobot tembakau menjadi lebih enteng. Ilustrasi Buhari, dalam satu widik tembakau yang telah dirajang dan dijemur bisa menghasilkan lebih dari satu kilo. Namun, tembakau yang terkena hujan dalam satu widik tak lebih dari satu kilo. Padahal, Buhari menegaskan, harga jual tembakau di bawah Rp50.000 per kilogram membuat petani merugi.

Paya (Capek). Rogi tanih (Rugi petani). Sudah harganya murah. Tembakaunya enteng,” kata Buhari getir.

Selain membuat tonase tembakau lebih enteng, hujan juga memaksa daun-daun tembakau tua sebelum usianya. Di sisi lain, hujan turut menjadi salah satu penyebab membengkaknya biaya produksi. Mulai dari ngangsâlèn, rao [membersihkan gulma], hingga menambah kebutuhan pupuk.

Ngangsâlèn itu kan petani artinya beli bibit lagi. Harga per seribu bibit itu Rp50.000. Terus biaya rao [membersihkan gulma] juga nambah. Kalau cuaca normal hanya satu kali. Sekarang karena hujan, bisa sampai tiga kali. Hujan itu yang membuat rumput liar subur,” jelas Buhari. 

Petani di Kecamatan Paiton dan Kotaanyar menanam tembakau musim kemarau (voor oogst) pada masa panennya tidak membutuhkan hujan. Masa tanam petani tembakau biasanya dimulai sejak awal April, karena menandakan peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.

Namun, krisis iklim membuat masa tanam petani mengalami perubahan. Tak sedikit petani yang menggeser proses namen (tanam) di pertengahan Mei hingga di awal Juni.  

Mudzakir, Asosiasi Petani Kabupaten Probolinggo (Aspekro) menyebutkan hujan deras yang turun sejak masa tanam petani tembakau di bulan Mei hingga masa panen di bulan Agustus menjadi salah satu bukti nyata krisis iklim, yang pada akhirnya berimbas pada kualitas dan rendemen tembakau yang kian menurun.

Sebab, hujan deras dapat memicu pencucian unsur hara (leaching) dari tanah, terutama pada tanah yang kurang padat dan memiliki drainase buruk. Hal ini menyebabkan unsur hara penting seperti nitrogen, fosfor, dan kalium terbawa air dan hilang dari zona perakaran tanaman.

“Penurunannya, misalkan, kalau panen sebelumnya 10 kilogram sekarang cuma 5 kilogram. Separuhya. Hujan juga membuat jamur akar tembakau yang pada akhirnya tanaman mati,” ungkap Mudzakir.  

Pria berusia senja itu mengamini bahwa hujan turut mempengaruhi usia panen tembakau. Kata dia, tatkala cuaca masih normal, daun tembakau yang sudah dipanen mampu bertahan tiga sampai empat hari dan kemudian dirajang. 

“Biasanya di-okep (dieram) dulu nggak langsung dirajang,” katanya. Namun, hari ini, pemeraman itu tak lagi penting. Sebab, bila tak segera dirajang maka daun tembakau akan menguning dan busuk. 

“Bahkan sekarang itu banyak daun tembakau yang masak di pohon dan harus langsung dipanen lalu dirajang,” tegas Mudzakir. “Ketika dirajang dan dijemur, langitnya mendung.”

Hasil Studi mahasiswa Universitas Indonesia menganalisis perbandingan data curah hujan dasarian tahun 2010 dan 1990-2015. Hasilnya menunjukkan, saat terjadi penyimpangan hujan terjadi penurunan produktivitas tembakau di lahan tidak kritis rata-rata di atas 50 persen dan penurunan produktivitas tembakau di lahan kritis rata-rata di bawah 50 persen. 

Saat tidak terjadi penyimpangan hujan, produktivitas tembakau di lahan tidak kritis rata-rata naik hingga di atas 20 persen dan produktivitas tembakau di lahan kritis rata-rata naik hanya di bawah 20 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Probolinggo mencatat selama periode 2018–2024, produksi tembakau di Kabupaten Probolinggo menunjukkan kecenderungan tidak stabil, dengan puncak pada tahun 2020 yakni 20.045 ton atau 1,78 ton/ha dan penurunan cukup signifikan di tahun-tahun berikutnya. 

Sementara itu, luas areal tanam tidak selalu berbanding lurus dengan produksi: meskipun luas lahan sempat mencapai 12.405 ha pada 2021, hasil panen justru lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menandakan adanya faktor lain di luar lahan yang mempengaruhi hasil, misalnya iklim, harga jual tembakau, maupun kebijakan petani dalam mengatur pola tanam. Di sisi lain, tahun 2023–2024 menunjukkan bahwa meskipun lahan tanam berkurang, produksi tetap relatif tinggi. 

Di sisi lain, penurunan kualitas dan produktivitas tembakau itu juga disebabkan oleh hujan asam akibat aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton. Sore itu, Mudzakir menunjukkan tiga lembar daun tembakau yang menjadi salah satu bukti dampak hujan asam.

“Kalau lihat ini, kemungkinan besar dampak hujan asam. Keasaman tinggi itu berpengaruh, salah satunya membuat pinggir daun kering,” ungkap Mudzakir sembari menunjukkan kondisi daun tembakau. 

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan menambahkan krisis iklim di Indonesia semakin terasa dampaknya. Anomali cuaca seperti hujan deras di musim kemarau atau kekeringan panjang di musim penghujan semakin sering terjadi. 

“Petani tembakau menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak karena tanaman ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu, curah hujan, kelembapan, dan cahaya matahari,” terang Wahyu. 

Di samping itu, Wahyu menjelaskan bukti lain dari krisis iklim adalah pengetahuan lokal petani dalam memprediksi cuaca tak lagi relevan. Dia menyebutkan dulu petani bisa membaca tanda-tanda alam untuk menentukan musim tanam tembakau. Namun, saat ini, pola itu tak lagi bisa diandalkan karena cuaca menjadi lebih ekstrem dan tidak menentu. 

“Krisis iklim membuat pengetahuan lokal yang selama ratusan tahun dipakai kini tidak lagi relevan, sehingga petani kehilangan salah satu alat adaptasi tradisional mereka,” ujarnya. 

Hal senada juga disampaikan Mudzakkir. Dia menyebutkan, dulu patokan petani untuk tanam tembakau adalah pohon randu, pohon jati, pohon mangga, hingga kode alam dari serangga tonggeret. 

“Orang dulu patokannya ke alam. Nah, patokan itu sekarang sudah berubah,” tegas Mudzakkir. 

Hasil rajangan tembakau yang dijemur tipis di widik menjadi adaptasi petani akibat cuaca yang tak lagi bisa diprediksi, Kamis (21/08/2025). Foto: Abdul Haq.

Wahyu menegaskan keberadaan PLTU Paiton ikut menyumbang persoalan iklim lokal maupun global. Kata dia, PLTU batu bara melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar, yang memperburuk krisis iklim secara global. Sedangkan di tingkat lokal, emisi sulfur dioksida (SO₂), nitrogen dioksida (NO₂), dan partikel debu mengganggu kualitas udara, memicu hujan asam, serta merusak kondisi tanah dan tanaman. 

Emisi SO₂ dan NO₂ dari PLTU tersebut yang bereaksi dengan uap air, dia menambahkan, membentuk hujan asam dan dapat menurunkan kesuburan tanah. Tanaman tembakau menjadi lebih sulit menyerap nutrisi, pertumbuhan terganggu, dan kualitas daun menurun. Selain itu, hujan asam juga bisa mempercepat kerusakan tanaman lain, merusak ekosistem air, dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar.

“Ini memperparah kondisi iklim yang sudah tidak menentu, sehingga petani di Paiton menghadapi beban ganda: krisis iklim global dan polusi lokal dari PLTU,” tegasnya. 

Wahyu menegaskan, peran pemerintah seharusnya lebih aktif dan berpihak pada petani untuk mengatasi masalah tersebut. Dia menawarkan beberapa solusi. Pertama, pemerintah perlu menyediakan dukungan teknologi dan infrastruktur, misalnya rumah pengering tembakau yang ramah lingkungan untuk mengatasi masalah hujan tak menentu. 

Kedua, memberikan bantuan bibit dan pupuk yang sesuai dengan kondisi tanah yang terpapar polusi atau hujan asam. Ketiga, segera pensiunkan PLTU tua di Paiton, sesuai skema yang sudah disampaikan pemerintah. Keempat, membuka skema perlindungan sosial bagi petani tembakau yang kehilangan pendapatan akibat krisis iklim maupun dampak PLTU. 

“Dengan demikian, beban adaptasi tidak hanya dipikul petani secara mandiri, melainkan ditopang oleh kebijakan negara,” kata Wahyu. 

Namun, nyatanya, Mudzakir tak melihat peran pemerintah. Justru petani berinisiatif mencari solusi-solusi secara mandiri seperti penggunaan pupuk organik untuk memperkuat akar hingga menjemur tipis rajangan tembakau. 

Mudzakir menegaskan seharusnya pemerintah mampu melakukan pemetaan terkait masalah-masalah yang dialami petani. Sebab, dia menyebutkan kegagalan petani tembakau akibat krisis iklim berimbas pada petani yang semakin terjerat hutang. 

“Petani terjerat hutang dengan bunga besar. Itu melilit petani,” tegasnya. 

Berharap pada Tembakau

1975 adalah tahun keemasan petani tembakau di Karisidenan Paiton. Suliman memanggil ingatannya. Ia membagikan kenangan-kenangan indahnya. Kala itu, dinding rumah Suliman masih anyaman bambu. Namun, hasil panen tembakau menjadi salah satu musabab peningkatan ekonomi petani. Kata Suliman, di tahun-tahun itu banyak petani yang merenovasi rumahnya.

“Rumah masa itu dibangun dan diganti pake dinding seng semua. Di jaman itu, rumah berdinding seng, itu bagus. Karena sebelumnya tabing anyaman bambu,” ujar Suliman. “Banyak perubahan. Saya juga alhamdulillah. Wong dinding rumah saya ketika masih muda itu banyak lobangnya. Gara-gara tembakau bisa ganti seng,” imbuhnya sembari melempar senyum.

Segendang-sepenabuhan, Sarip mengisahkan kala ia belajar merajang dan mengelola tembakau ke sanak saudaranya di Kotaanyar. Sarip mengingat jelas, bahwa harga tembakau rajang halus setengah plastik, kala itu, setara dengan harga satu ekor empe’ (pedet).

“Dulu harga pedet sekitar 1.300.000. Sekarang setengah plastik kambing aja nggak dapat. Itu penyebabnya dari kualitas tembakau dampak dari cuaca,” terang Sarip. 

Sebelum gudang-gudang besar hadir di Kecamatan Paiton, tembakau-tembakau petani dirajang halus. Namun, seiring berjalannya waktu, gudang-gudang besar memaksa petani untuk merajang kasar. Perbedaan hasil rajang itu memiliki perbedaan harga jual. Perubahan tersebut sangat dirasakan oleh petani. Suliman, salah satunya, yang mengisahkan kondisi hasil panen tembakau hari-hari ini sungguh merugikan petani.

“Sekarang bisa nutupin utang sudah untung. Kalau dulu enak, apalagi di masa tampangan, masa talean. Tembakau diikat, dirajang halus. dilipat dan dibungkus plastik. Tapi, lama kelamaan, nggak usah diikat langsung di-tampangih, langsung dimasukkan ke plastik. Kalau napel, setelah di-tampangih langsung diletakkan di lumbung. E sempen,” terang Suliman. 

Kondisi daun tembakau yang memiliki kualitas jelek akibat hujan dengan ciri-ciri bercak coklat kehitaman, menguning, serta di beberapa sisi kering, Sabtu (26/07/2025). Foto: Abdul Haq.

Di tahun-tahun berikutnya, Suliman mendedahkan, harga tembakau cenderung fluktuatif. Namun, tahun 1993 menjadi penanda penurunan hasil panen tembakau petani. Suliman menghela napas panjang. “Masa itu cuaca kayak sekarang. Tembakau nggak laku.” Ia mengisahkan, kala itu, tembakau petani ditumpuk dan disimpan. Tak ada blandang yang membeli. Masa-masa mlarat itu, Suliman kisahkan dengan mata berkaca-kaca.

“Bahkan, tembakau itu ditukar beras. Tembakau sekilo, beras sekilo. Biasanya. Tembakau sekilo bisa dapat beras 10 kilo. Itu mlarat-mlaratnya tembakau,” kata Suliman getir. 

Mudzakir menegaskan ada beberapa faktor yang membuat petani masih menanam tembakau, seperti mindset tentang sejarah sebutan daun emas atau emas hijau. Dia menyebutkan petani sudah kepalang tergantung dengan komoditas tembakau. 

“Ini berat sekali. Dulu itu pernah satu kilogram tembakau itu bisa beli emas satu gram. Dan gudang memainkan isu-isu ini,” ujarnya.

“Faktor lainnya adalah faktor air. Di sini kalau belum sudah musim kemarau nggak bisa tanam yang lain. Jangung mati, karena air nggak ada,” lanjut Mudzakir.  

Kisah-kisah kegagalan dan kenangan indah petani akan hasil panen tembakau bukan isapan jempol belaka. Ingatan akan sejarah emas itu membuat beberapa petani menyebutkan bahwa biaya hidup yang berbiaya mahal seperti menikahkan anak, biaya kuliah, hingga membelikan motor atau gawai baru acapkali diupayakan melalui hasil panen tembakau. 

Masih banyak petani yang menggantungkan harapannya pada komoditas yang kerap disebut Emas Hijau itu. “Arepnah gun som bekoh nikah reng tanih [Harapan petani ya cuma di musim tembakau],” ujar Buhari lirih.

“Ngeluh petani mangken nikah. Maseh tak pokok ah ka otangah (Petani ngeluh semua sekarang. Kayaknya nggak bakal bisa nutupin utang)” ujar Suliman pasrah.

Sebagian dari mereka bukan tak ingin beralih komoditas seperti jagung. Namun, perubahan bentang alam, karena deforestrasi di wilayah hulu, sumber mata air yang rusak, hingga dampak pembangunan jalan tol TransJawa menjadi musabab akses air yang mlarat. Di sisi lain, mereka masih berharap hujan tak lagi turun dan kualitas tembakau membaik.

“Maksa namen pole benni keng dekremmah. Pola, pola. Kadung a tanih e bekoh. E tanemih jegung, dekbudih aeng korang (Maksa tanam tembakau lagi bukan karena apa, tapi, ya polanya siapa yang tahu) . Kadung bertani tembakau. Mau tanam jagung, nanti air kurang,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *