POIN PENTING
- Tambang emas mengancam ruang hidup warga Sumbermulyo
- Lima peternak membentuk Kelompok Tani dan Ternak Lembu Mulyo
- Lembu Mulyo jadi simbol kemandirian
Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, dikenal dengan hamparan sawah, kebun, dan kandang-kandang sapi yang ada di belakang rumah.
Bagi warga Sumbermulyo, sapi bukan sekadar hewan ternak. Ia adalah tabungan, simpanan darurat, biaya sekolah anak, bahkan penopang dapur sehari-hari. Namun, di balik kepastian yang dijamin sapi-sapi itu, keresahan besar membayangi warga di selatan Banyuwangi.
Ancaman Eksploitasi Emas
Dalam beberapa tahun terakhir, Kecamatan Pesanggaran hidup dalam ancaman tambang emas. Dua perusahaan, PT Bumi Sukses Indo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), mengantongi izin operasi dan eksplorasi ribuan hektare lahan—masing-masing 4.998 hektare dan 6.623 hektare. Keduanya merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold (MCG).
Kehadiran tambang emas ini menimbulkan pertanyaan besar di benak warga: bagaimana nasib tanah pertanian kelak? Dari mana pakan ternak jika lahan dikeruk? Bagaimana masa depan anak cucu jika ruang hidup dirampas?
Dari obrolan sambil ngopi di teras rumah awal 2023, lima peternak di Desa Sumbermulyo membentuk Kelompok Tani dan Ternak Lembu Mulyo. Cita-cita mereka sederhana, bagaimana caranya peternak tidak lagi tunduk pada tengkulak?
Mereka sepenuhnya sadar, masalah klasik yang membelit peternak bukan hanya ancaman tambang, tetapi juga jeratan tengkulak dan jagal. Harga sapi ditentukan sepihak, tanpa ukuran pasti. Besar-kecil, gemuk-kurus—semuanya ditakar sesuka hati.
Seorang peternak bercerita, ia membeli sapi seharga 12 juta rupiah dan merawatnya selama setahun. Saat butuh dana dan menjualnya, harga yang ditawarkan tetap Rp12 juta. Tak ada tambahan nilai atas kerja kerasnya.
Kisah lain datang dari peternak yang membeli sapi 22,5 juta rupiah dan merawatnya delapan bulan, namun saat dijual hanya dihargai 19 juta. Alasannya, “harga daging sedang turun.” Padahal, harga di pasar tetap stabil. “Seperti jerih payah kami tak ada artinya,” kata seorang anggota.
Langkah pertama yang dilakukan Kelompok Tani Lembu Mulyo adalah menolak sistem lama. Mereka sepakat menentukan harga sapi berdasarkan timbangan hidup. Berat sapi dihitung secara transparan, lalu harga disesuaikan dengan acuan harga eceran daging di pasar.
Dengan sistem ini, harga jual menjadi transparan dan adil. Pemilik sapi tidak lagi ditipu, sementara konsumen mendapat harga lebih rendah dari jagal.
Selain memperjuangkan harga, kelompok ini juga merintis usaha olahan sapi. Mereka mulai memproduksi bakso dan berencana mengembangkan produk lain seperti sambal goreng hati, rambak, hingga makanan beku. Nilai tambah meningkat, dan ketergantungan pada tengkulak perlahan terputus.
Setiap malam Kamis Legi, para anggota rutin berkumpul. Pertemuan dimulai dengan canda ringan, lalu bergeser ke diskusi serius tentang pakan, kesehatan sapi, strategi penjualan, hingga perencanaan usaha. Semua keputusan diambil bersama dan diikat dalam AD/ART yang mereka susun sendiri. Setiap anggota menyumbang Rp10 ribu per pertemuan sebagai iuran konsumsi dan kas kelompok.
Skema bagi hasil pun disusun transparan. Warga yang bergabung dalam kelompok peternak, membuat kesepatakan bersama. Pemilik ternak yang merawat sendiri mendapat 75 persen hasil penjualan, 25 persen masuk kas kelompok. Jika ada pemodal luar, pembagian menjadi 65 persen untuk perawat, 25 persen untuk pemodal, dan 10 persen untuk kelompok.
Kas kelompok tidak berhenti sebagai simpanan. Dana yang terkumpul kini digunakan membeli sapi yang dikelola bersama. Uang kolektif berubah menjadi kekuatan kolektif—menggerakkan ekonomi dari bawa

Dianggap Sebelah Mata
Pada awalnya, Lembu Mulyo dipandang sebelah mata. Banyak yang ragu lima orang peternak bisa melawan dominasi tengkulak yang sudah puluhan tahun menguasai pasar. Namun, perlahan pandangan itu berubah.
Sistem yang dibangun kelompok ini terbukti lebih adil dan transparan. Anggotanya kini mencapai 53 orang, dengan 60 persen di antaranya peternak aktif. Sisanya adalah anggota pendukung yang ikut menjaga keberlanjutan kelompok.
Keuntungan dari penjualan sapi meningkat, harga daging olahan lebih rendah dari jagal, dan posisi tawar peternak menguat. Meski unit usaha baru dirintis dan belum menghasilkan dampak ekonomi besar, semangat mereka tumbuh.
Mereka tak lagi merasa sendirian menghadapi pasar yang timpang.
Selain mengandalkan kekuatan anggota, Lembu Mulyo juga mendapat dukungan dari luar. Melalui Nusantara Fund, mereka menerima bantuan berupa mesin giling bakso, cetakan bakso, freezer, timbangan hidup, alat perebah sapi, hingga gerobak bakso.
Bagi mereka, alat-alat itu bukan sekadar alat produksi, melainkan simbol harapan dan keberlanjutan. Sebaliknya, bantuan dari pemerintah belum pernah mereka rasakan, meski proposal sudah beberapa kali diajukan.
Simbol Perlawanan
Di tengah ancaman tambang emas yang terus membayangi Pesanggaran, Lembu Mulyo berdiri sebagai simbol perlawanan. Mereka membuktikan bahwa warga bisa bertahan dan membangun harapan sendiri.
Lembu Mulyo menunjukan pada kita bahwa ekonomi lokal bisa diusahakan dan diperjuangkan. Bahwa warga dapat berdaya tanpa menunggu tapi dijemput dengan solidaritas dan kolaborasi.
Melawan perusakan lingkungan dapat dimulai dari hal kecil: mengusahakan kemandirian. Dari obrolan lima orang, kini lahir gerakan besar yang menjadi harapan puluhan keluarga.
Lembu Mulyo bukan sekadar Kelompok Tani dan Peternak, melainkan asa untuk masa depan yang lebih adil dan sejahtera.
Oleh: Bronie dan Siti (Tim Advokasi WALHI JATIM)
Tinggalkan Balasan