gtag('config', 'G-Q2NVKJDWRH');
65 0

Buniah Tak Terlupa

Perempuan berambut panjang itu baru saja selesai melayani seorang remaja tanggung yang sedang mabuk birahi.

Buniah bersusah payah mengenakan cawet dalam gelapnya area kuburan. Cawet kendor itu sedikit tersangkut di sepatu hak tinggi yang menempel di kakinya yang agak berisi. Perempuan berambut panjang itu baru saja selesai melayani seorang remaja tanggung yang sedang mabuk birahi.

Mayoritas pelanggannya memang anak muda. Buniah menyukai mereka. Anak-anak muda itu penurut, tak banyak bicara, dan cepat selesai. Ia tak perlu menguras tenaga. Paling sekadar melumah lima menit, lalu uang sudah di tangan. Lagi pula, kenikmatan bukanlah tujuan Buniah. Ia hanya butuh uang untuk lauk dan kos-kosan. Karena itu, berapapun usia pelanggannya tak pernah jadi soal.

“Sudah enak? Sabtu ke sini lagi, ya!” ucap Buniah dengan penuh godaan. Ia menyerahkan uang pecahan sepuluh ribu sebagai kembalian. Remaja tanggung itu merapatkan matanya, menghitung uang kusut di tangan, sebab gelap kuburan membuat angka-angka tak mudah terlihat.

Buniah membenahi pakaiannya. BH hitam yang diobrak-abrik pelanggannya kembali ia rapikan. Pertemuan singkat itu hanya berlangsung selama enam menit, tapi bajunya sudah compang-camping. Untuk pelanggan mudanya, Buniah punya sebutan khusus, yaitu ayam bertenaga kuda. Mereka punya nafsu sebesar kuda, tapi bercinta seperti ayam. Nikmatnya hanya sekilas lalu hilang.

Di usianya yang menginjak empat puluh, Buniah masih terlihat memikat. Buah dadanya masih padat dan pantatnya menonjol. Kedua wujud itu menjadi daya tarik bagi anak muda yang kantongnya cekak. Selain terjangkau, ada pula sensasi yang bisa mereka sombongkan kepada teman-teman sebaya.

Tubuh Buniah masih segar dibanding teman-temannya. Lekuk tubuhnya tak kalah dengan penyanyi dangdut kawakan yang sering muncul di televisi. Perbandingannya hanya sebelas dua belas. Tidak main-main bentuknya. Yang tua atau yang muda akan memalingkankan pandang pada Buniah lebih dulu sebelum ke yang lain.

Tempat mangkal Buniah di kuburan lawas peninggalan Belanda, letaknya di tengah kota Gidang. Dari jauh, kuburan itu tampak seperti kumpulan jamur di atas bukit. Pepohonan tumbuh rimbun. Siang hari, mereka meneduhkan. Malam hari, mereka menyeramkan. Tetapi bagi Buniah dan kawan-kawannya, pepohonan itu hanya seperti langit-langit kantor yang sejuk, tempat mereka duduk bercanda sebelum kembali bekerja.

Area kuburan luasnya lebih dari sepuluh hektar. Hampir semua petak sudah penuh. Liang lahat ditumpuk hingga tiga lapis. Namun orang-orang tetap memakamkan sanaknya di sana. Murah dan seakan tak ada pilihan lain; seperti alasan dari semua lelaki yang ingin melampiaskan nafsunya di sana.

Buniah berjalan santai melewati makam-makam menuju ujung barat. Jalanan licin, becek, dan ditumbuhi rumput. Gelapnya malam membuat setiap langkahnya harus hati-hati. Jika lengah, kaki bisa tersandung marmer atau terperosok ke lumpur—kadang juga kau akan menginjak kotoran manusia.

Ia berhenti di sebuah kuburan tua milik keluarga Tionghoa. Marmer hitam kelabu melapisi seluruhnya, bahkan atapnya, meski kini berlumut. Dulu, orang kaya dimakamkan di situ. Kini hanya sunyi yang tertinggal. Buniah tak mempersoalkan kenapa makam itu dibiarkan. Ia hanya butuh ruang di baliknya untuk bilik cuci. Tempat ia membasuh tubuh dan bagian yang kotor.

“Asu,” umpatnya, saat nyamuk menggigit pahanya.

Air bersih tidak tersedia di bilik itu. Ia dan teman-temannya punya kesepakatan: saban sore, masing-masing membawa dua botol air dari kos. Bila kehabisan dan meminjam, harus diganti esok hari. Karena pelanggannya paling banyak, Buniah sering ketiban beban. Hampir tiap malam ia bolak-balik mengambil botol tambahan. Syukurlah kosnya tidak jauh.

“Asu!” ia mengumpat lagi, saat sirene meraung. “Aman, aman!” teriak teman-temannya dari tepi jalan. Itu kode biasa, penanda situasi terkendali. Tampaknya mobil patroli baru melintas. Sedan buatan Jepang itu tak akan berhenti jika tidak ada instruksi atasan. Demikian asumsi liar Buniah.

“Bikin kencing nggak tuntas saja,” gerutunya. Ia buru-buru mengenakan celana, merogoh tas LV tiruan, mengeluarkan bedak dan kaca mini berbentuk onde-onde. Bibir tebalnya merah alami, jadi tak butuh gincu. Rambut panjangnya ia sisir dengan jari. Wajahnya kembali tampak segar di mata burung-burung yang tidur di ranting asem, juga di mata Kuswi, penjual bakso keliling.

Pukul dua dini hari, Kuswi datang dengan gerobak baksonya. Ia memilih jam itu sebab hafal dengan kegiatan Buniah yang pasti sedang bersantai menunggu pelanggan. Di waktu itu pula Kuswi ingin menjadikannya sebagai momentum berdua-duaan dengan Buniah, atau lebih sering hanya memperhatikannya (tak pernah yang pertama yang terjadi, namun yang kedua pasti terjadi).

Malam itu, Kuswi sengaja menyisakan satu kresek bakso untuk Buniah secara gratis. Ia ingin Buniah mengajaknya bicara meski sebentar. Syukur jika dapat lebih. Barangkali maksudnya ialah sembari duduk berduaan di atas nisan tua.

“Enak gratisan,” celetuk seorang teman Buniah.

“Kalau gratis, aku juga mau,” sahut yang lain.

“Barter, ya?” timpal seorang perempuan tua kurus, disambut tawa panjang.

Kuswi tersenyum canggung. Buniah menatapnya, lalu tersenyum samar. Ia memeluk Kuswi dengan sengaja. Entah apakah sebagai ucapan terima kasih atau sekadar memanas-manasi kulit Kuswi yang sudah bosan terkena angin malam. Sontak anak muda itu gemetar.

Buniah tidak melahap bakso itu sendiri. Ia membagi kepada semua temannya. Begitulah Buniah, jika rezekinya cukup, ia pasti akan berbagi. Ia melakukannya karena sadar teman-temannya tidak selalu mendapatkan pelanggan sebanyak dirinya, maka berbagi itu wajib hukumnya.

“Wi, sini duduk,” katanya sambil menunjuk makam di sisinya.

Kuswi malu-malu. Duduk di kuburan dengan seorang perempuan seperti Buniah pada pukul dua dini hari bukanlah sesuatu yang pernah ia bayangkan. Tetapi ia duduk juga.

“Gratisan, nih,” celetuk seorang kawan.

“Siomay tukar pentol,” teriak yang lain. Tawa pecah meramaikan malam.

Kuswi hanya menunduk. Lalu Buniah bertanya, “Umurmu berapa, Wi?”

“Sembilan belas, Mbak. Minggu lalu ulang tahun.”

“Seumuran anaknya Bude itu.” Buniah menunjuk perempuan tua yang sedari tadi mulutnya paling celometan. “Anaknya kerja di pabrik kertas, di Patang Timur. Kamu masih perjaka, Wi?” tanyanya pelan.

Kuswi memerah. “Sumpah, Mbak, masih,” katanya.

“Ya dijaga. Jangan jajan sembarangan.”

Sirine kembali meraung. Namun bagi Kuswi yang terbakar hasrat cinta dan nafsu, suara itu tak lagi berarti. Ocehan nakal dari Buniah dan teman-temannya lebih terasa menggugah selera dan menenangkan pikirannya. 

Burung hantu mengepakkan sayap, terbang rendah, lalu hinggap di atas nisan dekat mereka. Angin malam membawa bau tanah basah dan asap kretek. Suara tawa teman-teman Buniah bergema, seperti pasar setan yang hidup di dunia lain. Kesunyian tidak akan berlangsung lama jika berada dekat-dekat dengan mereka.

Buniah menatap langit seraya tiba-tiba menasihati Kuswi. “Hidup ini ruwet, Wi. Kadang kita harus menertawakan diri sendiri, kalau tidak, kita bisa gila.”

Kuswi menelan ludah. Ia ingin menjawab, tapi suaranya hilang. Ia tidak mengerti maksud Buniah. Hidup mereka susah tapi mengapa suka menertawakan diri sendiri. Sementara dirinya hanya bisa sambat jika dagangannya tidak laku.

“Dagangan sering sepi, Mbak! Jadi saya sisakan untuk Embak sekresek, daripada harus dibuang.”

“Ah, lumayan, Wi, untuk ganjal perut,” balas Buniah sambil melahap bakso sedikit demi sedikit. “Begitulah hidup, Wi. Harusnya kamu bersyukur tidak perlu jual diri cuma untuk bertahan. Hidup kita memang begini; kadang hambar, kadang asin, kadang cuma lewat, seperti suara kentongan mu tadi. Yang penting jangan hidup sendirian. Harus ada teman-teman meski cuma untuk menghibur.”

Bayangan Kuswi di marmer tampak pucat, tetapi bibirnya seakan tersenyum.

Buniah berdiri, menepuk debu di roknya. “Sudah pagi. Pulanglah, Wi. Ibumu pasti menunggu. Besok-besok, kamu tidak usah malu buat istirahat dan bicara dengan kami. Selain kami tidak menggigit, kami lebih mengerti cara untuk menghadapi persoalan dagangan yang laku atau tidak laku dibanding kamu.”

“Ya, Mbak. Saya juga harus ke pasar belanja. Apa mbak mau nitip sesuatu. Biar saya belanjakan?”

“Sudah, Wi. Setiap hari Bude yang merokok itu memasak untuk kami semua. Kami cuma patungan uang belanjanya.”

Buniah berpaling.

Kata-kata itu seakan menghantam dada Kuswi. Ia ingin menahan Buniah, tapi tubuhnya kaku, sebab seorang lelaki membuntuti Buniah dari belakang. Barangkali langganan. Kuswi hanya menatap punggung Buniah, yang rambutnya bergoyang diterpa angin, lalu hilang di balik pohon besar.

Kuswi tertunduk sekali lagi dan di bayangan marmer terlihat wajah lain yang sedang meringis kepadanya. Namun ia bingung wajah siapa itu.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *