Kebijakan tersebut diberlakukan pada beberapa SMA dan SMK di Kota Kupang sejak Senin 27 Februari 2023, dan rencananya akan diberlakukan pada seluruh SMA dan SMK di NTT. Kepala dinas pendidikan NTT, Linus Lusi, mengatakan tujuan kebijakan ini adalah “ingin menata wajah baru pendidikan di NTT dan juga untuk melatih kedisiplinan anak-anak di NTT” (Kompas.com 28/02/2023).
Kebijakan Mengada-ada
Banyak pertanyaan serta kritik masyarakat dan beberapa LSM terkait kebijakan Gubernur NTT ini. Pertanyaan paling mendasar adalah, apakah ini benar untuk membangun mutu pendidikan di NTT?.
Menurut saya, kebijakan ini memang perlu dipertanyakan dan dikritisi. Kebijakan ini mengada-ada dan juga sembrono. Mengada-ada, sebab kebijakan ini dibuat agar ada kesan “ada program baru” dalam bidang pendidikan. Atau supaya NTT tampil beda saja. Sembrono karena kebijakan ini tidak didukung kajian akademik yang memadai.
Kebijakan ini jelas menambah kusut pengelolaan pendidikan Indonesia selama ini. Dimana banyak kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) diubah sesuka hati oleh pemerintah daerah atas nama otonomi daerah. Padahal, kebijakan tersebut telah melalui proses kajian yang panjang. Sementara di daerah, mungkin atas dasar kepentingan politik, tidak jarang pemimpin daerah mengubah atau membuat kebijakan tanpa dasar kajian yang mendalam. Dalam kasus seperti ini, Kemdikbud Ristek tidak bisa berbuat banyak karena sekolah-sekolah tersebut dibawah kekuasaan pemerintah daerah.
Satu contoh, saat ini Menteri Nadiem Makarim sedang menggagas program Merdeka Belajar. Sebuah konsep pendidikan yang diambil dari filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Konsep pendidikan yang melarang adanya paksaan kepada peserta didik karena mematikan jiwa merdeka dan kreativitas. Merdeka belajar juga memberi ruang bagi guru dan siswa untuk menerapkan sistem pembelajaran yang efektif dan menyenangkan sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
Pertanyaannya, apakah kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi tersebut sejalan dengan semangat merdeka belajar?. Apakah kebijakan ini memberi ruang kemerdekaan belajar bagi para siswa dan para guru?. Hemat saya, alih-laih mengambil semangat merdeka belajar, kebijakan tersebut malah memasung kemerdekaan para siswa dan para guru. Kebijakan itu tidak berpihak pada kepentingan siswa dan guru.
Membangun Mutu Pendidikan
Kalaupun tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk membangun mutu pendidikan dan karakter siswa, tentu tujuan itu tidak bisa dipaksakan dengan kebijakan jalan pintas. Membangun mutu pendidikan tidak bisa dengan jalan pintas, apalagi dengan memaksakan kehendak, tanpa memikirkan dampaknya terhadap kondisi siswa dan para guru.
Setidaknya ada dua pendekatan dalam meningkatkan mutu pendidikan menurut Sastrapratedja (2001) yaitu pertama adalah pendekatan struktural dan kedua adalah pendekatan kultural. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang mengedepankan perubahan dengan mengubah unsur-unsur struktural. Sedangkan pendekatan kultural adalah pendekatan yang memusatkan perhatian pada budaya keunggulan (culture of excellence).
Pendekatan struktural dalam pendidikan berkaitan dengan pemenuhan standar-standar pendidikan. Setidaknya ada delapan standar pendidikan nasional yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses pendidikan, standar sarana dan prasarana, standar manajemen atau pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan dan standar evaluasi. Lebih dari itu, pendekatan struktural juga berkaitan dengan tatanan birokrasi dalam bidang pendidikan, pengaturan hubungan antara unit organisasi pendidikan, gaya kepemimpinan, dan sebagainya. Asumsi pendekatan struktural adalah menghasilkan budaya kerja yang efektif dan efisien.
Sedangkan pendekatan kultural dalam pendidikan berkaitan dengan nilai yang jadi ciri khas dan kebiasaan yang jadi pegangan komunitas pendidikan. Asumsi pendekatan kultural adalah menginternalisasi nilai yang dihidupi dalam sebuah komunitas pendidikan bagi setiap pribadi yang ada dalam komunitas tersebut.
Nilai-nilai yang dihidupi dalam sebuah sekolah atau komunitas pendidikan biasanya yang akan membentuk karakter peserta didik. Setidaknya ada tiga proses pembentukan pendidikan karakter di sekolah yaitu proses pendidikan karakter berbasis kelas, pendidikan karakter berbasis sekolah dan pendidikan karakter berbasis relasi lingkungan sekolah dan masyarakat. Karakter itu yang dibawa peserta didik setelah menyelesaikan proses pendidikan.
Perpaduan pendekatan struktural dan pendekatan kultural pada lembaga pendidikan menghasilkan budaya mutu sekolah. Budaya mutu mengacu pada budaya organisasi yang bertujuan meningkatkan kualitas secara permanen. Ini ditandai oleh dua elemen yaitu disatu sisi, unsur budaya berkaitan dengan nilai, kepercayaan, harapan dan komitmen bersama terhadap kualitas, dan struktural/manajerial memproses untuk meningkatkan kualitas dengan mengkoordinasikan usaha individu dan organisasi (Lukkola & Zhang dalam Rais Hidayat,2018).
Implementasi budaya mutu sekolah yang tepat akan berpengaruh besar terhadap aktivitas belajar siswa, juga mempengaruhi guru untuk melakukan pekerjaan yang lebih efisien dan efektif untuk mencapai kinerja guru yang baik (Yuliono,2011). Sekolah yang memiliki budaya mutu yang baik, akan menghasilkan output pendidikan yang baik pula. Kunci implementasi budaya mutu sekolah adalah adanya keseimbangan antara intervensi secara struktural dan adanya nilai-nilai yang menjadi budaya dalam sebuah lembaga pendidikan.
Dari penjelasan diatas, tentu tidak semua bisa diintervensi oleh Gubernur sebagai pemerintah daerah. Hanya sejauh hal-hal strukural berkaitan dengan pemenuhan standar-standar pendidikan. Atau target-target pendidikan dan sebagainya. Tapi kalau sudah masuk dalam ranah pembentukan kultural sekolah, biarkan itu dipercayakan kepada sekolah dan guru. Kultur sekolah tidak bisa dipaksakan dari luar, termasuk dari Gubernur. Kultur sekolah lahir dari dalam sekolah itu sendiri. Kultur sekolah ada, atas dasar kehendak, kesadaran dan komitmen warga sekolah.
Tidak Ada Jalan Pintas
Tidak ada jalan pintas untuk membangun mutu pendidikan. Demikian halnya dengan membangun mutu pendidikan di NTT. Harus ada pembagian kewenangan para stakeholder. Mana yang harus dikerjakan oleh Gubernur sebagai pemerintah daerah, mana yang harus dipercayakan lembaga pendidikan, bahkan ada kewenangan yang mesti harus dipercayakan kepada Guru sebagai ujung tombak di sekolah. Suatu kebijakan pendidikan tidak bisa atas kepentingan Gubernur tanpa mempertimbangkan kepentingan Guru sebagai pelaksana pendidikan.
Sebagai pemerintah, Gubernur cukup melakukah hal-hal yang menjadi tanggungjawabnya, misalnya, pertama, memastikan standar-standar pendidikan di semua sekolah yang menjadi tanggung jawab pemerintahan terpenuhi. Seperti sarana dan prasarana perpustakan, laboratorium, sarana olahraga, fasilitas internet, dan sarana pendukung lainya. Demikian halnya dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Apakah semua pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah-sekolah dibawah naungan pemerintahan provinsi itu sudah memenuhi standar atau belum. Kalau belum apa yang mesti dilakukan pemprov; dan sebagainya.
Kedua, cita-cita Gubernur, agar anak-anak NTT bisa masuk kampus-kampus terbaik dalam negeri maupun luar negeri, itu ide yang sangat bagus. Semua masyarakat pasti mendukung. Namun apa yang sudah dilakukan pemprov dalam hal ini?. Apakah sudah ada kerjasama dengan kampus-kampus tersebut agar ada kuota untuk anak-anak NTT. Atau memberikan beasiswa kepada setiap anak-anak NTT yang bisa lolos ke kampus-kampus tersebut, sehingga mereka termotivasi dan berlomba-lomba untuk masuk kampus-kampus tersebut tanpa memikirkan biaya.
Ketiga, tentang cita-cita agar anak-anak memiliki akademik bagus selalu ada support system. Soal nutrisi, lingkungan, dan sarana pendukung. Kalau itu belum terpenuhi, maka itu jadi tugas utama Gubernur sebagai pemerintah daerah. Bukan sebaliknya, malah membuat kebijakan yang mengada-ada.
Sebagai penutup, Saya hendak mengatakan bahwa, kualitas pendidikan itu hasil dari proses pendidikan yang memberi ruang kemerdekaan kepada guru dan siswa. Ruang kemerdekaan itulah yang mereka pakai untuk membentuk kultur pembelajaran yang baik di sekolah. Dengan demikian kita berharap para siswa yang belajar atas dasar kemerdekaanya sadar untuk apa dia belajar. Namun, kalau atas dasar pemaksaan, kita tidak akan pernah menghasilkan manusia berbobot tapi manusia robot. Ciri manusia robot adalah tunduk dan patuh. Kita tidak menginginkan anak-anak NTT menjadi robot-robot di masa depan.
Editor: Andre Yuris. Foto: @andreyuris
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan