Koordinator Kopeka Surabaya, Aditya Ikhsan mengatakan rute Pulang Pergi (PP) yang ditempuh, yaitu WTC, Taman Ekspresi, Peneleh, dan Tugu Pahlawan. Ketika kembali, pejalan kaki melewati Bubutan, Tunjungan, Balai Pemuda, dan WTC. Selama menempuh rute itu, ia mengaku bahwa jalan kaki lebih dari sekadar olahraga.
“Karena, kita bisa melihat lebih dekat lingkungan sekitar, melihat sesuatu yang tidak kita perhatikan saat mengendarai motor. Selain itu, di Hari Ulang Tahun ini kami berupaya refleksi juga, mengenai hak-hak pejalan kaki yang belum terpenuhi,” katanya.
Ketika menemukan hak-hak pejalan kaki yang jauh dari harapan, Aditya sering mengirim surat kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya agar mendapat tindak lanjut. Hal-hal yang disuarakan, salah satunya terkait trotoar layak hanya sepanjang 15% dari total jalan yang ada di Surabaya.
“Selain itu, elevator Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) kadang memakan banyak tempat di trotoar, sehingga ganggu hak-hak pejalan kaki. Ada zebra cross yang catnya sudah pudar, perlu dicat ulang sama Pemkot. Lalu, guiding block untuk disabilitas netra, dan menyediakan ramp di tepi trotoar agar memudahkan kursi roda,” tegasnya.
Mengenai makna berjalan kaki, Anggota Kopeka Surabaya, Dimas Abdan menganggap jalan kaki sebagai upaya tamasya ke masa lalu. Ia membayangkan ketika warga masih belum memiliki kendaraan pribadi untuk bertemu kerabat/keluarga. Selain memakai transportasi publik pada masa itu, banyak warga yang menikmati jalan kaki.
“Zaman kemerdekaan paling mentok sepeda ontel, itupun kategori orang-orang kaya. Dulu jalan kaki masih budaya. Itung-itung sedekah bumi, untuk mengurangi polusi udara juga,” tuturnya.
Keduanya, Aditya dan Abdan, berharap pada Hari Ulang Tahun Ke-12 Kopeka dapat selalu dilibatkan Pemkot Surabaya dalam membuat kebijakan, mengambil keputusan, dan penyediaan fasilitas untuk pejalan kaki.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan