Peristiwa penganiayaan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi, Sabtu 27 Maret 2021, merupakan peristiwa terbaru dari rangkaian serangan yang diterima oleh wartawan ataupun aktivis HAM.
Penganiayaan ini terjadi ketika Nurhadi menjalankan penugasan dari redaksi Majalah Tempo untuk meliput mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji, yang menjadi tersangka dalam kasus suap pajak.
Ketika menghadiri acara resepsi pernikahan anak Angin yang dilaksanakan di Gedung Graha Samudera Bumimoro Nurhadi diintimidasi, disekap, dianiaya dan disiksa oleh pengawal Angin dan juga oknum TNI dan Kepolisian. Bahkan, ponsel Nurhadi juga dirampas, dan ia dipaksa menerima “uang ganti rugi” dan diancam untuk menghentikan peliputan.
Dalam pemantuan LBH Pers, angka kekerasan terhadap wartawan meningkat drastis sepanjang tahun 2020, dengan jumlah 117 kasus kekerasan dari 79 kasus pada 2019. Pemantauan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia juga menunjukkan hasil serupa dengan 78 kasus tercatat sepanjang 2020, meningkat jauh dari 58 kasus pada tahun 2019, dengan angka tertinggi sejak tahun 2016.
Temuan-temun ini selaras dengan pemantauan media yang dilakukan Imparsial terkait serangan terhadap pembela HAM.
Pembela HAM adalah setiap pihak yang melakukan aktivitas yang terkait dengan advokasi HAM, dan ia bisa datang dari berbagai latar: mulai dari demonstran, mahasiswa, wartawan, aktivis, hingga warga dalam konflik agraria.
Imparsial mencatat bahwa pada tahun 2019 dan 2020, terjadi peningkatan drastis jumlah serangan terhadap pembela HAM, dengan 38 dan 41 kasus dibandingkan 11 kasus pada 2018 dan 16 kasus pada 2017. Serangan-serangan ini terjadi dalam bentuk kriminalisasi, penganiayaan, intimidasi, serangan digital, hingga pembunuhan. Ironisnya, lebih dari setengah pelaku serangan ini berasal dari institusi pemerintahan (Kepolisian dengan 42%, TNI 9.3%, pejabat negara dan satpol PP 10%).
Peningkatan ini disebabkan oleh berbagai faktor: banyaknya aksi demonstrasi yang dibubarkan dengan kekerasan berlebihan, maraknya kriminalisasi dengan pasal karet seperti UU ITE, banyaknya konflik agraria yang didorong perspektif pembangunan yang tidak adil, munculnya serangan digital sebagai bentuk serangan baru, dan – didukung data dari LBH Pers dan AJI – meningkatnya serangan terhadap pekerja pers.
Kerja-kerja jurnalistik sesungguhnya berkaitan erat dengan pemenuhan hak masyarakat atas informasi dan kebebasan berekspresi, apalagi ketika ia berkaitan dengan isu publik seperti isu korupsi. Maka meningkatnya angka serangan terhadap pers dan juga aktivis HAM secara umum adalah sebuah gejala mengkhawatirkan bahwa pemerintahan Jokowi selama ini bersifat semakin represif terhadap kritik, atau setidaknya gagal membangun iklim yang ramah terhadap kritik, dan seringkali mengambil posisi yang bertentangan dengan HAM.
Koalisi Pembela HAM KOALISI PEMBELA HAM yang berangotakan LBH Pers, AJI Indonesia, Imparsial, Elsam, Amnesty Indonesia, Kontras, Walhi Papua, Yayasan Srikandi Lestari, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyerukan, pertama : Kepolisian dan peradilan harus menindaklanjuti kasus penganiayaan jurnalis Nurhadi dengan adil dan serius, dan mencegah impunitas yang marak terjadi dalam kasus serangan terhadap pembela HAM.
Kedua, mendorong perlindungan dan penghormatan atas kerja-kerja jurnalistik yang telah dilindungi dalam UU Pers, dalam rangka menjamin Hak Asasi masyarakat untuk memperoleh informasi.
Ketiga, mendorong revisi Undang-undang bermasalah yang sering dimanfaatkan untuk merintangi kerja-kerja pembela HAM, termasuk UU ITE.
Keempat, mendorong revisi UU HAM untuk memberikan pengakuan terhadap kerja-kerja pembela HAM dan penegasan kewajiban negara dalam perlindungan pembela HAM, termasuk ketika ia berkelindan dengan kerja-kerja jurnalistik.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan