Pancasila Sebagai Landasan Rasionalitas (Baru) Masyarakat Pascasekular

346 0
Pancasila

KEGAGAPAN demokrasi sekular Barat dalam perjumpaannya dengan agama, sebagai salah satu fakta pluralisme dalam masyarakat sekular, menunjukkan “kekuranglengkapan” pemahamannya atas dimensi lain dari manusia.

 

Demokrasi sekular barat juga tampak mengalami kesulitan dalam menghadapi isu-isu yang digunakan oleh populisme, semisal isu rasisme, etnosentrisme, sentimen negatif terhadap imigran, dst. Namun demikian, masyarakat sekular Barat agaknya sudah dapat berharap pada terbukanya pintu pengakuan atas eksistensi dimensi manusia yang lain selain rasio yang tetap bertahan hingga saat ini, yakni dimensi religiusnya, dan pengakuan terhadap tanggung jawabnya atas kedua “hybris Barat” yang harus dibayar atas kemampuannnya menentukan situasi global lebih dari pada kebudayaan-kebudayaan lain.[1]

Dalam situasi demikian, agaknya menjadi penting untuk menentukan kembali landasan rasionalitas yang mendasari suatu masyarakat baru setelah masa sekular, yakni pascasekular. Sebagaimana diungkapkan oleh Habermas bahwa dalam masyarakat yang demikian “dibutuhkan  sebuah status epistemologis yang bukan hanya sesuatu yang irasional belaka” yang dapat menjamin prioritas yang sama pada semua konsep-konsep religius atau kosmologis.[2]

Dalam konteks demokrasi di Indonesia, bagaimana Pancasila dapat menjawab permasalahan demokrasi yang demikian? Mungkinkah Pancasila menjadi tawaran rasionalitas baru dalam kewargaan demokratis pasca sekular?

Tanpa mengesampingkan permasalahan terkait dengan kesenjangan kesejahteraan dan kerusakan lingkungan, tulisan ini berusaha untuk memaparkan dan menganalisis kemungkinan Pancasila menjadi landasan rasionalitas baru bagi kewargaan demokratis di tengah masyarakat pascasekular dan permasalahannya. Dalam menjawab kebutuhan ini, pemaparan isi arti Pancasila yang terkait dengan demokrasi masyarakat pascasekular perlu untuk dipersandingkan.

Kebangkitan agama dalam demokrasi liberal pascasekular dan Pancasila

Di dalam kegoyahan legitimasi demokrasi liberal dan kapitalisme global, agama mengunggah pertanyaan yang terkait dengan kemampuan legitimasi kekuasaan yang didasarkan pada rasio untuk memenuhi hasrat-hasrat kemanusiaan kita, dan pemahaman demokrasi liberal terhadap kemanusiaan. Drew Hanson dalam tulisannya pada www.forbes.com memproyeksikan bahwa  pada tahun 2050 kelaparan dalam skala luas akan terjadi apabila karakter “ketidakberlanjutan” dalam kapitalisme saat ini tetap diteruskan.[3] Pada lain pihak, populisme mempertanyakan rasionalitas demokrasi, utamanya demokrasi perwakilan, dan istilah “rakyat” serta cara menyuarakan suara rakyat sebagai suara Tuhan. Demokrasi juga menampilkan bentuk irasionalitasnya melalui populisme dengan terpilihnya pemimpin dan orang-orang yang ‘tidak tepat’[4] serta memiliki keyakinan nilai yang berseberangan dengan, bahkan mematikan, nilai-nilai demokrasi itu sendiri dalam pemilihan-pemilihan umum di negara-negara penganut demokrasi di dunia.

Kesangsian terhadap kepemimpinan nalar dalam sistem pemerintahan memungkinkan kembalinya, dalam istilah Francis Fukuyama, bentuk-bentuk pengakuan yang “kurang rasional”, agama.[5] Salah satu yang menyuarakan kesangsian terhadap kepemimpinan nalar datang dari Joseph Ratzinger, seorang tokoh utama gereja Katolik. Menurutnya, dengan bencana-bencana kemanusiaan yang ditimbulkan, semisal bom atom dan perang, memunculkan pertanyaan terkait kemampuan ilmu untuk menghasilkan etika dari dirinya sendiri,[6] dan “patologi hybris (kesombongan)”  dari nalar yang berpotensi mengancam kemanusiaan itu sendiri.[7]

Pandangan agama sebagai “kurang rasional” dan tidak memberikan sumbangsihnya pada kemajuan, agaknya menjadi penilaian yang tidak berimbang dan sewenang-wenang. Menurut Habermas, agama juga memberikan sumbangan bagi demokrasi yang harus pula diakui oleh demokrasi dalam masyarakat sekular, yakni memberikan landasan motivasional bagi anggota komunitasnya dalam masyarakat untuk pembentukan sikap-sikap yang diharapkan.[8]

Dalam diskusi antara Juergen Habermas dan Joseph Ratzinger terkait dengan nalar dan iman, keduanya sepakat untuk menyebut zaman ini sebagai “pascasekular”, yakni zaman di mana agama dan non agama bertemu dan mengakui batasnya masing-masing. Setidaknya terdapat lima hal yang dapat dikaitkan pada istilah pascasekular. Habermas menyebutkan tiga hal terkait istilah ini, yakni sebagai 1) bentuk pengakuan publik atas sumbangan komunitas religius bagi masyarakat; 2) bentuk pengakuan fakta pluralitas dalam mentalitas, dan merefleksikannya; dan 3) penghargaan atas sumbangan timbal balik kedua belah pihak, yang agama dan non agama.[9] Ratzinger menambahkan dua hal terkait dengan istilah tersebut, yakni bahwa 4) agama perlu untuk “memandang cahaya ilahi nalar sebagai organ pengontrolnya”; dan 5) pengakuan batas-batas nalar dan kesediaan nalar untuk mempelajari dan mendengarkan tradisi-tradisi religius umat manusia.[10]

Tampilnya agama di ruang publik masyarakat demokratis sekular seharusnya tidak menjadi masalah. Habermas menawarkan beberapa penyesuaian yang harus dilakukan oleh agama dan masyarakat non agama, yaitu 1) kesediaan agama untuk melepaskan anggapan hak monopoli atas interpretasi dan pengorganisasian aspek-aspek kehidupan; 2) pembedaan peran masyarakat sebagai anggota komunitas agama dan anggota masyarakat; 3) kesediaan agama sebagai etika komunitas menyatu dengan moral sosial dan susunan yuridis universal yang egaliter; 4) kesediaan orang beragama memberikan ruang rasional bagi pendapat-pendapat lain, dan sebaliknya; 5) refleksi kritis atas hubungan iman dan pengetahuan dalam perspektif duniawi; 6) tidak mengabaikan potensi kebenaran dan hak memberikan sumbangan bagi masyarakat dari dunia religius; dan 7) usaha penerjemahan bahasa-bahasa religius yang bermakna dalam bahasa yang dapat dipahami oleh semua.[11]

Hal-hal yang diajukan terkait dengan agama dalam masyarakat pascasekular tersebut tampak tidak asing dalam Pancasila. Pandangan Pancasila terhadap manusia sebagai makhluk mahkluk monopluralis, bhineka-tunggal, majemuk tunggal.[12] Manusia dipandang sebagai kesatuan jiwa-badan, pribadi-sosial, dan pribadi otonom-makhluk Tuhan. Di dalam diri manusia sudah terdapat potensi kebijaksanaan, keadilan, kesederhanaan, dan keteguhan yang apabila terwujudkan menjadi watak kesalehan. Dengan pemahaman manusia yang demikian, Pancasila sama sekali tidak berseberangan dengan pengakuan nalar dan keimanan dalam diri manusia sebagaimana terjadi dalam pemahaman sekular, dan dapat menjadi dasar pertimbangan selanjutnya.

Bagaimana kemudian menjelaskan agama yang tampil justru dalam wajah-wajah teror? Pesan-pesan Osama bin Laden sebagaimana disitir oleh Ratzinger, memaparkan bahwa perilaku teror tampil selain dilandasi oleh pembenaran moral agama juga dilatarbelakangi oleh keadaan yang tertindas dan tidak kuasa dalam politik.[13] Menurut Ratzinger sebagian perilaku tersebut dapat pula dikatakan “pembelaan tradisi religius tertentu melawan kejahatan masyarakat Barat”.[14] Bagi Habermas, bentuk perilaku religius yang menyimpang ini dapat disebabkan karena “modernisasi dan globalisasi ekonomi yang mengubah masyarakat menjadi monade terisolir”[15]; dan terindividualisasikannya agama serta melemahnya bentuk organisasi keagamaan dan ikatan institusional.[16]

Terkait hadirnya agama di ruang politik dan pertentangan-pertentangannya dengan ideologi lain, Notonagoro berpendapat bahwa penting untuk memandang pertentangan tersebut sebagai pertentangan dalam arti politik, yakni dalam soal pendirian kenegaraan.[17] Dalam hal ini diungkapkan bahwa tidak dapat dipertimbangkan pandangan yang meletakkan pertentangan dalam politik sebagai pertentangan dalam hal kerohanian. Sebagai tambahan diungkapkan demikian, “Sebenarnya dapat dikatakan, banyak jumlah orang Indonesia yang politis tidak termasuk golongan ideologi ke-Tuhanan, akan tetapi yang dalam hidup kerohaniannya ber-ke-Tuhanan.”  Maka, agama bersifat netral dan tidak dicampuradukkan dalam kepentingan politik atau kenegaraan. Bentuk-bentuk teror dan sebagainya dipandang semata-mata sebagai bentuk kejahatan yang dapat dilakukan baik oleh orang beragama maupun yang tidak. Pandangan yang meletakkan teror menempel pada orang beragama justru merupakan kesalahpahaman yang fatal.

Adanya pengakuan dari kedua belah pihak, nalar dan agama, pada batasnya masing-masing dapat dipandang sebagai bentuk rekonsiliasi kemanusiaan dalam demokrasi masyarakat pascasekular. Namun demikian, masih terdapat satu permasalahan terkait dengan demokrasi yang tidak hanya terjadi pada demokrasi di Barat namun juga terjadi di belahan dunia yang lain lintas ideologi dan sistem pemerintahan, populisme.

Mungkinkah populisme di Indonesia?

Sudah sejak kemunculannya, populisme mengudang banyak perdebatan, baik terkait dengan definisi, tujuan, dan dampaknya bagi demokrasi. Populisme yang membentang lintas negara, lintas waktu, dan lintas ideologi tentunya mengundang beragam interpretasi, maka tidak mengherankan apabila dinyatakan oleh Tom Bryder bahwa pandangan atas populisme terkait erat pada latar belakang ideologi dan pemahaman terhadap istilah ini.[18]

Setidaknya terdapat tiga kelompok wajah populisme, yakni sebagai ideologi, gaya berkomunikasi, dan mobilisasi politik.[19] Sebagai ideologi, populisme  merupakan perangkat ide yang meletakkan rakyat dan elit dalam kedudukan antagonistik terkait dengan korupsi moral yang dilakukan aktor-aktor elit dalam politik; dalam gaya berkomunikasi, populisme tampak sebagai retorika politik yang menempatkan politik sebagai perjuangan moral rakyat melawan oligarki; dan sebagai strategi politik, populisme memiliki tiga aspek, yakni sebagai a) pilihan kebijakan yang bertujuan untuk redistribusi ekonomi; b) organisasi politik yang dipimpin oleh seseorang yang didukung secara langsung oleh pengikut yang tidak terorganisasikan dalam jumlah yang besar dan tidak terinstitusionalisasikan; dan c) bentuk mobilisasi yang anti sistem dan anti-establishment.

Cara-cara yang digunakan oleh tokoh-tokoh populis tidak menyalahi prosedur demokrasi karena tujuannya bukan untuk menghancurkan demokrasi, melainkan mengembalikan demokrasi pada semangat awalnya, yakni demokrasi langsung.[20] Hal ini dikarenakan tokoh-tokoh populis tidak dapat menerima kerumitan prosedur demokrasi perwakilan, dan meyakini bahwa seharusnya terjadi hubungan langsung antara pemerintah dan warganya.[21] Selain itu, dalam hal ini, kemunculan populisme merupakan tanda adanya krisis demokrasi yang terkait dengan  sifat perwakilannya, yakni bahwa kekecewaan masyarakat tidak dapat disuarakan secara efektif dan tidak lagi dianggap penting oleh penguasa.[22]

Penelitian Kaltwasser dan Mudde sebagaimana dikutip oleh Noam Gidron dan Bart Bonikowski (2013) setidaknya menyebutkan tiga dampak positif populisme dalam demokrasi karena keberpihakannya pada kehendak umum masyarakat, yaitu keterwakilan dan pergerakan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, pembangunan koalisi politik lintas-kelas, dan penekanannya pada akuntabilitas demokrasi.[23] Namun demikian, populisme tetap memiliki kemungkinan dampak yang negatif. Menurut Tom Bryder (2009), populisme radikal dapat meningkatkan rasisme dan xenophobia sebagaimana cara pandang yang digunakan pada aktor-aktor politik,[24] dan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena dipengaruhi oleh opini publik[25], dan berubah menjadi menjadi berbahaya bagi demokrasi dalam beberapa kondisi. Pertama, apabila terdapat pemimpin yang memanfaatkan kedudukannya untuk mendukung pelanggaran secara bertahap pada hak-hak sipil masyarakat. Kedua, apabila terdapat pemimpin yang dipenuhi prasangka, intoleran dan menganggap diri selalu benar yang mengancam keterbukaan dan solidaritas.[26]

Di dalam Pancasila, pluralitas yang ada di dalam masyarakat tidak untuk dihindari atau ditiadakan melainkan disadari sepenuhnya dan diupayakan untuk memperkaya kehidupan dan mencapai sintesa.[27] Ditambah pula keyakinan bahwa dalam perbedaan selalu ada persamaan, dan sebaliknya.[28] Persatuan kemudian bukanlah dipandang sebagai tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan bersama yang lebih luas lagi dalam hidup bersama.[29] Selain itu, pemahaman atas demokrasinya diletakkan di atas pemahaman hakikat rakyat sebagaimana manusia yang memiliki kepentingan makhluk sosial dan individual yang dalam kesatuannya bersifat statis, namun dinamis dalam keseimbangannya.[30] Keseimbangan antara makhluk sosial dan individual tersebut tergantung pada perkembangan zaman.[31] Pada demokrasi Pancasila juga diperkenalkan istilah demokrasi gotong royong yang tidak mengingkari adanya subordinasi  antara warga dalam susunan organisasi hidup bersama.[32]Maka bentuk-bentuk populisme dengan isu-isu yang justru merendahkan kemanusiaan dan bersifat menghasut seharusnya tidak memperoleh tempat tumbuhnya di Indonesia.

Mewujudkan pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan bersama

Secara normatif, Pancasila tidak banyak bertentangan dengan semangat masyarakat demokratis pascasekular dan mungkin, dengan penelitian lebih lanjut, dapat menjadi tawaran rasionalitas baru. Namun demikian, justru di Indonesia populisme berkelindan antara isu mayoritas, etnis, nasionalisme dan agama. Semua isu tersebut saling memperebutkan dimensi kesadaran masyarakat. Maka, yang terjadi adalah perang memperebutkan kesadaran. Wacana perwujudan Pancasila agaknya mulai tergerus oleh populisme.

Menurut penulis, terdapat beberapa faktor yang mengkondisikan Pancasila tergerus oleh populisme yang bersifat menghasut dengan isu-isu yang justru berlawanan dengan semangat Pancasila sendiri, yakni dalam keadaan material, sistem politik, budaya, dan teknologi informasi. Pertama, yang terkait keadaan material adalah permasalahan keadilan, dan kesesuaian pelaksanaan pemerintahan dengan tujuan dasar negara ini dibentuk. Keadilan dan tujuan dasar negara dibentuk merupakan dasar pembenaran yang melampaui dasar pembenaran konstitusional atau politis.[33] Kesesuaian antara kondisi material dengan tujuan normatif kenegaraan ini penting karena dalam keadaan atau kondisi material inilah yang pertama-tama menjadi sumber pengetahuan dalam kesadaran masyarakat. Maka, dalam hal ini menjadi penting untuk mengembalikan Pancasila sebagai landasan keadilan dan tujuan Negara Indonesia dibentuk.

Kedua, terkait dengan sistem politik demokrasi di Indonesia yang sedang dibangun dan menikmati kebebasannya setelah terkungkung dalam rezim totalitarianisme Orde Baru. Orde Baru mempunyai peran besar pada terpinggirkannya nilai-nilai Pancasila, depolitisasi warga menjadi massa mengambang yang terlepas dari politik, dan apatisme warga terhadap politik[34] yang merupakan landasan material bagi munculnya populisme radikal. Maka, dalam hal ini penting untuk mendudukan Pancasila sebagai landasan berpolitik dalam masyarakat.

Ketiga, terkait dengan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Pendidikan merupakan garda terdepan pembangunan kebudayaan. Di dalam pendidikan harus tercipta iklim akademis, dalam pengertian bahwa pencarian kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan lebih diprioritaskan ketimbang pertimbangan diserap atau tidaknya oleh pasar. Perlu pula pembangunan integritas dalam pendidikan, yakni penghargaan pada proses dan tidak melulu pada hasil. Sampai dengan saat ini, setidaknya tidak benar-benar terkait antara hasil akademik dengan integritas etis politisi. Maka, dalam hal ini penting untuk menanamkan Pancasila sebagai jiwa kebudayaan.

Keempat, terkait dengan teknologi informasi yang berkembang pesat. Jutaan informasi dan pembentukan wacana dibuat dan dihadirkan di hadapan kesadaran manusia. Namun, proses kesadaran mencerna informasi dan wacana tersebut tidak sama cepatnya dengan yang dihadirkan. Telah banyak korban berita hoax, fitnah, dan informasi-informasi yang tidak akurat. Dalam kondisi demikian, masyarakat dapat dikatakan mabuk dan kehilangan kesadarannya dalam informasi. Setiap informasi kemudian dinilai sepenuhnya benar atau sepenuhnya keliru karena hilangnya ruang kesadaran untuk berefleksi dan memilah informasi yang dihadirkan. Maka, dalam hal ini penting untuk meresapkan Pancasila dalam etika informasi publik.

Daftar Pustaka

Bosetti, Giancarlo, ed. Iman Melawan Nalar Perdebatan Joseph Ratzinger Melawan Juergen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Bosetti, Giancarlo. “Pemikiran untuk Mencari Titik Temu dalam Zaman “Pasca Sekular”. Dalam Iman Melawan Nalar Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas, ed. Giancarlo Bosetti, 5-36. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Bryder, Tom. “Populism –a threat or a challenge for the democratic system?” Paper dalam Course title: Xenophobia, Politics and Right Wing Populism in Europe untuk University of Copenhagen Faculty of Social Science Department of Political Science, Winter, 2009 http://politicalscience.ku.dk/international_students/present_international_students/taking_exams/past_papers/Populism___a_threat_or_a_challenge_for_the_democratic_system.pdf  diakses pada Minggu, 19 Maret 2017 pukul 6:49 pm.

Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004.

Gidron, Noam, dan Bart Bonikowski. “Varieties of Populism: Literature Review and Research Agenda” dalam Weatherhead Working Paper Series, No. 13-0004 (2013). http://scholar.harvard.edu/files/gidron_bonikowski_populismlitreview_2013.pdf  diakses pada Minggu, 19 Maret pukul 6:47 pm.

Habermas, Juergen. “Hal-hal yang Diakui oleh Filsuf Non Religius tentang Tuhan (Lagi dari Rawls).” Dalam Iman Melawan Nalar Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas, ed. Giancarlo Bosetti, 37-59. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Lane, Max. Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Masa, dan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe, 2014.

Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975.

Ratzinger, Joseph. “Nalar dan Iman Pertukaran Timbal Balik untuk Membangun Suatu Etika Umum.” Dalam Iman Melawan Nalar Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas, ed. Giancarlo Bosetti, 60-77. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Hanson, Drew. “Unless It Changes, Capitalism Will Starve Humanity by 2050.” Forbes, 9 Februari, 2016. Diakses pada Rabu, 5 April 2017.

https://www.forbes.com/sites/drewhansen/2016/02/09/unless-it-changes-capitalism-will-starve-humanity-by-2050/#5bcc871c7ccc https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/02/09/the-man-who-declared-the-end-of-history-fears-for-democracys-future/?utm_term=.1a04b396bd0d

[1] Joseph Ratzinger, “Nalar dan Iman Pertukaran Timbal Balik untuk Membangun Suatu Etika Umum,” dalam Iman Melawan Nalar Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas, ed. Giancarlo Bosetti (Yogyakarta: Kanisius, 2009),77.

Ratzinger menyatakan bahwa kedua hybris Barat ini adalah iman kristiani dan rasionalitas Barat non religius. Kedua hybris Barat ini memiliki peran dalam menentukan situasi global lebih daripada kekuatan kultural yang lain.

[2] Juergen Habermas, “Hal-hal yang Diakui oleh Filsuf Non Religius tentang Tuhan (Lagi dari Rawls),” dalam Iman Melawan Nalar Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas, ed. Giancarlo Bosetti (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 58.

[3] Drew Hanson, “Unless It Changes, Capitalism Will Starve Humanity by 2050,” Forbes, 9 Februari, 2016, diakses pada Rabu, 5 April 2017,

https://www.forbes.com/sites/drewhansen/2016/02/09/unless-it-changes-capitalism-will-starve-humanity-by-2050/#5bcc871c7ccc

[4] https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/02/09/the-man-who-declared-the-end-of-history-fears-for-democracys-future/?utm_term=.1a04b396bd0d

Hal ini disampaikan Francis Fukuyama dalam wawancara terkait terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Selain itu, Fukuyama juga memandang bahwa populisme yang bersifat menghasut (demagogic populism) telah mengantarkan Donald Trump menjadi presiden.

[5] Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (Yogyakarta: Penerbit Qalam), 11.

Fukuyama menyebutkan bahwa agama, disamping bentuk-bentuk lain, merupakan bentuk pengakuan yang kurang rasional karena didasarkan atas perbedaan yang arbitrer antara yang sakral dan yang profan.

[6] Ratzinger,“Nalar dan Iman,” 61.

[12] Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975), 87-91.

15] Giancarlo Bosetti, “Pemikiran untuk Mencari Titik Temu dalam Zaman “Pasca Sekular”,” dalam Iman Melawan Nalar Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen Habermas, ed. Giancarlo Bosetti (Yogyakarta: Kanisius, 2009),  17.

[16] Giancarlo Bosetti, “Pemikiran, 21.

[17] Notonagoro, Pancasila, 71.

[18] Tom Bryder, “Populism –a threat or a challenge for the democratic system?”(Paper dalam Course title: Xenophobia, Politics and Right Wing Populism in Europe untuk University of Copenhagen Faculty of Social Science Department of Political Science, Winter, 2009), 15. http://politicalscience.ku.dk/international_students/present_international_students/taking_exams/past_papers/Populism___a_threat_or_a_challenge_for_the_democratic_system.pdf diakses pada Minggu, 19 Maret 2017 pukul 6:49 pm.

[19] Noam Gidron dan Bart Bonikowski B., “Varieties of Populism: Literature Review and Research Agenda” dalam Weatherhead Working Paper Series, No. 13-0004: 4-14.

http://scholar.harvard.edu/files/gidron_bonikowski_populismlitreview_2013.pdf  diakses pada Minggu, 19 Maret pukul 6:47 pm.

[[33] Juergen Habermas, “Hal-hal yang Diakui,” 41.

[34] Max Lane, Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Masa, dan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe, 2014.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Thomas Satriya

Fasilitator di Nera Academia Surabaya & Alumnus Fakutas Filsafat UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *