Ketika boleh ataupun tidak boleh merayakan Valentine ramai diperbincangkan, Nera academia tetap memilih merayakanya dengan cara mereka sendiri. Sebuah obrolan asik tentang fenomena hoax yang tengah ramai di media sosial menjadi pilihan bagi Nera Academia untuk merayakan hari Valentine.
Menjelang malam hari Selasa, 14 Februari 2017, ketika Surabaya diguyur hujan hari kasih saying, Warung Mbah Cokro yang terletak di Jl. Prapen 22-Surabaya jadi hangat dengan acara #NeraTalk : Va-HOAX-Tine.
Benih persoalan yang subur dan kaya, lahirkan anak negeri yang jenuh di rumahnya. Nurani Pertiwi lembut berbisik, pakai hati yang tulus untuk Indonesia.
Bait terakhir dari lagu yang dibawakan Gorby Adonara ini menjadi pengantar dalam diskusi yang belangsung selama dua setengah jam.
Neratalk Vahoaxtine dimoderatori Ghorby Sugianto, mahasiswa Arsitektur UDKC yang juga aktif di Nera Academia. Dibuka dengan pemaparan dari Andrey Fifo dan Rovien Aryunia, perwakilan dari MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Surabaya. Mafindo adalah komunitas masyarakat yang secara rutin kampanye anti penyebaran hoax.
Baik Fifo maupun Rovien seirama mengatakan bahwa fenomena hoax sejatinya berawal dari kultur sosial masyarakat indonesia yang suka ngerumpi dan kemudian berpindah tempat kedalam media sosial seiring dengan meleknya masyarakat Indonesia akan teknologi. “ Masyarakat kita punya kultur ngobrol. Obrolan yang ditambahi bumbu-bumbu jadi lebih seru” kata Fifo.
Widriakara, dosen Arsitektur UKDC kepada Mafindo bertanya tentang apa benar ada hubungan hoax dengan upaya pengumpulan duit atau mencari keuntungan. Hal itu dibenarkan Mafindo bahwa ada trend bermunculan situs-situs web yang menyebarkan berita bohong. “Ketika banyak yang klik maupun share berita tersebut, maka otomatis trafic-nya tinggi. Situs yang traficnya tinggi akan menarik minat pengiklan. Dan itu iklannya dijual mahal.” Kata Rovien.
Juga tentang kecenderungan meningkatkan status sosial dengan menyebarkan hoax. Jadi tampak pintar, tampak agamis dan religius dengan menyebarkan berita hoax. Hoax dan berita bohong jadi tangga naik kelas sosial dimata net-citizen dan juga sarana mendapatkan kepuasan setelah mandapat komentar dan ribuan like di media sosial.
Victor Emanuel Nale dari Lembaga Studi Etnika (LESNIKA) Darma Cendika menyampaikan pendapatnya terkait UU ITE 2016. “UU ITE ini rohnya adalah Niaga. Regulasi ini untuk mengamankan transaksi perdagangan berbasis teknologi dan elektronik. Namun entah kenapa pada padal 28 ayat 2 dimasukan juga tantang ujaran kebencian atau hate speech. Ini agak mencurigakan” kata Dosen Fakultas Hukum UKDC ini.
Untuk diketahui Pasal 28 UU ITE berbunyi “ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Pasal inilah yang menjerat Basuki Cahaya Purnama (Ahok) dan Buni Yani yang menyebarkan potongan pidato Ahok di facebook. Keduanya dijerat Pasal 156 A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Menurut Victor, walaupun sekarang ini marak berita hoax atau fitnah bukan berarti negara bisa sewenang-wenang. Pasal 28 B ini berpeluang mengekang kebebasan berpendapat seperti yang dilakukan Orde Baru. “ Terlalu banyak aturan, tumpang tindih dan multi tafsir tentu akan berbahaya bagi demokrasi. Negara terlalu kuat akan jadi ancaman bagi masyarakat sipil. Sebaiknya memperkuat self regulation dengan cara edukasi dan literasi” tegas alumnus GMKI Malang ini.
Simon Untara dari Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya berpendapat “Jika sebuah kebenaran dapat diukur dari hal-hal yang indrawi dan logis, maka apakah kita pernah berpikir bahwa jangan-jangan ajaran tentang surga dan neraka itu juga HOAX?”. Menurut Simon, fenomena hoax adalah bentuk nyata perang wacana. Bisa saja wacana dominan yang sebetulnya “hoax” menjadi “benar” karena disampaikan penguasa atau kebanyakan orang.
Berbagai pendapatpun bersahutan sepanjang obrolan. Ada yang justru mendukung hoax dengan alasan agar masyarakat terbiasa mencari kebenaran. Ada pula yang mengatakan hoax itu semacam virus bagai masyarakat modern yang tidak bisa hilang namun ada anti virusnya. Asal tidak “mamam mentah aja” kata seorang peserta obrolan.
Lya Adonara seorang pendidik berpendapat bahwa pendidikan tetap menjadi dasar agar kita lebih kritis dalam melihat sebuah informasi. Mafindo diakhir obrolan menegaskan bahwa hal paling mendasar yang perlu kita ingat adalah bagaimana seorang manusia hendaknya punya sisi tanggung jawab pada setiap tindakannya termasuk dalam menyebarkan sebuah berita.
Dalam pernyataan penutup, Andre Yuris dari Nera Academia mengatakan bahwa nama besar sebuah media tidak menjadi jaminan akan kebenaran informasi yang disampaikan. Dengan ada berita “hoax” masyarakat belajar “curiga” dengan segala jenis informasi. Ada baiknya perlu curiga dengan tokoh, berita dan cerita dengan mencari pembanding dan verifikasi.
Diskusi Vahoaxtine ditutup dengan penampilan Parker dari Teater Kusuma Untag Surabaya yang membawakan puisi berjudul Penting. Baiknya penting, buruknyapun penting. Asal tidak sok penting saja. Begitu bunyi bait terakhir dari puisi itu.
Reportase : @Timur
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan