Sejak usia dini sampai menginjak perguruan tinggi saya dicecoki konsep ini oleh orang tua dan para guru, “kamu harus menjadi orang yang berguna untuk masyarakat, bangsa dan Negara…” Kata “berguna” menjadi kata kunci untuk mereka yang bersekolah.
Orientasi sekolah adalah kerja. Orientasi pendidikan adalah profesi. Arah pendidikan adalah kesuksesan. Kesuksesan ditakar dengan memiliki pekerjaan yang bagus, keluarga yang mapan (plus istri atau suami yang berkarir mantap), menjadi tokoh berpengaruh dalam masyarakat, dikenal banyak orang, kehidupan ekonomi yang cukup, memiliki barang-barang material yang standar kelas menengah, dsb. Menjadi “manusia” atau “orang” didefinisikan oleh kriteria kesuksesan yang diterima sebagai pandangan umum masyarakat. Hal itu terungkap dalam frase usang, “…dia sudah jadi orang…” Hemat saya, dibalik ungkapan “berguna untuk masyarakat, bangsa dan negara” secara implisit tersembunyi suatu konsep pendidikan berorientasi pasar.
Visi semacam ini menarik jika dihadapkan dengan visi UNESCO mengenai tujuan pendidikan. Menurut lembaga PBB ini, pendidikan bertujuan untuk tercapainya autonomy, equity, dan survival. Autonomy berkaitan dengan pemberian kesadaran kepada individu atau kelompok agar dapat hidup mandiri dan hidup bersama untuk kehidupan yang lebih baik. Equity atau keadilan berarti pendidikan sedapat mungkin memberi kesempatan kepada seluruh anggota masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberikan pendidikan dasar yang sama. Dan survival berarti dengan pendidikan kebudayaan akan diwariskan dari generasi ke generasi (Burhanudin Salam: 1997, 12).
Saya menerima pemahaman humanistis yang mengatakan bahwa pada dasarnya pendidikan merupakan sebuah proses pemanusiaan manusia, sebuah proses penyadaran dan pembebasan manusia, sehingga dunia semakin manusiawi. Apakah pendidikan berorientasi pasar merangum juga visi humanistik? Dan apakah menjadi manusia harus memiliki kriteria sukses yang didikte pasar? Dalam uraian berikut saya mengajak pembaca untuk melihat pemikiran Herbert Marcuse dan Erich Fromm sebagai pisau analisis terhadap persoalan ini.
Instrumentalisasi dan operasionalisasi
Herbert Marcuse (1898-1979) menulis buku One-Dimensional Man (1964) yang merupakan satu di antara buku-buku filsafat yang best-seller pada abad 20. Pada pokoknya buku ini berisi tentang analisis Marcuse tentang masyarakat industri yang sudah maju. Menurutnya, manusia adalah mahkluk yang menurut kodratnya mendambakan kebahagiaan dan berhak juga atas kebahagiaan. Perwujudan kebahagiaan sama sekali tergantung pada pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, zaman modern ini mempunyai kemungkinan obyektif untuk merealisasikan pemuasan ini; antara lain karena pekerjaan-berkat otomatisasi-sudah hampir tidak lagi bersifat menghinakan martabat manusia. Walaupun demikian, manusia modern tetap terhalang dalam merealisasikan kebutuhannya karena suasana represif (menindas) yang menandai masyarakat di mana ia hidup. Bagi Marcuse, masyarakat modern adalah masyarakat yang represif. (Bertens: 2002, 224)
Ciri yang menonjol dari masyarakat industri modern adalah peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rasionalitas zaman ini adalah rasionalitas teknologis. Di sini masyarakat modern dicirikan oleh instrumentalisasi dan operasionalisasi. Instrumentalisasi berarti cara berpikir dan bertindak di mana manusia dan seluruh lapangan sosial politik dan budaya di peralat dan dimanipulasi seperti benda-benda dan mesin untuk melayani produksi. Operasionalisasi berarti konsep-konsep ilmu pengetahuan hanya berguna sejauh dapat diterapkan, sejauh bersifat operable. Hal ini nampak dalam penelitian sosial yang menyingkirkan setiap perubahan kualitatif. Perbaikan sosial hanya dibiarkan sejauh dapat dicocokan dengan sistem sebagai keseluruhan. (ibid., 225)
Di sini yang menjadi instrumen penindas bukan manusia atau golongan tertentu tetapi suatu sistem totaliter yang menguasai semua orang. Sistem itu adalah rasionalitas teknologis yang merangkum seluruh realitas alamiah dan sosial. Dan dalam cengkeramannya tak ada orang yang dapat mempengaruhi sistem anonim itu. Sistem ini berlaku untuk semua orang dan semua lapisan masyarakat. Pengaruhnya tampak di segala bidang. Baik di negara-negara dunia maju maupun negera-negara berkembang, sistem ini hampir menguasai semua bentuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Sistem teknologis sendiri membangkitkan pada manusia keinginan-keinginan yang diperlukan supaya sistem dapat langgeng dan berkembang terus. Dalam masyarakat maju manusia seakan-akan terjepit dalam sebuah lingkaran: di satu pihak produktivitas semakin besar untuk memungkinkan konsumsi semakin besar pula dan di lain pihak satu-satunya alasan bagi konsumsi ialah menjamin berlangsungnya produktivitas. Dengan menekankan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, dan kemakmuran, sistem ini seolah-olah mau memajukan pembebasan manusia, tetapi pada ujungnya hanya tertuju kepada perbudakan dan keterasingan.
Manusia modern mengira bahwa ia bebas sama sekali dan bahwa ia hidup dalam dunia yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan berlimpah-limpah untuk dipilih serta direalisasikannya, namun apa yang dikehendaki manusia sebenarnya didiktekan kepadanya. Pada kenyataannya ia diatur oleh sistem produksi dan konsumsi, media massa dan publikasi periklanan, kaum teknokratis, dsb. Manusia diperalat untuk mempertahankan sistem teknologis yang totaliter.
Orientasi pasar
Menurut Erich Fromm (1900-1980) orientasi pasar merupakan satu orientasi yang dominan dalam era modern. (Fromm: 2004, 293) Orientasi ini merupakan salah satu aspek dari orientasi non produktif selain tiga yang lain. Pertama, orientasi watak reseptif di mana orang menerima secara pasif apa saja dalam segala bidang hidupnya. Misalnya dalam praktek pendidikan orang hanya mengandalkan dikte dari luar dan bantuan dari luar diri sementara dirinya pasif belaka. Kedua, orientasi eksploitatif di mana seseorang mengambil secara aktif, bila perlu secara kekerasan atau kelicikan apa yang diinginkannya.
Dalam praktek pendidikan hal ini setara dengan plagiatisme, menyontek, mentalitas copy paste, pencurian hak cipta karya, dsb. Ketiga, orientasi menimbun di mana orang hanya menciptakan rasa aman diri dengan mengumpulkan atau menyimpan, entahkah itu barang materil maupun hal rohani seperti pengetahuan. Tipe watak ini susah membagi pengetahuan. Ia hanya mengalami pendidikan sebagai modus “memiliki” bukan “menjadi”. Ia memiliki banyak koleksi buku dan informasi serta memiliki nilai-nilai yang aduhai pada saat ujian tapi pengetahuannya tidak diprodusir lebih lanjut. Kalau menjadi berarti ia mampu mengasilkan pengetahuan/ide baru. Keempat, orientasi pasar di mana berakar pada pengalaman terhadap diri seseorang sebagai suatu komoditas dan nilai diri seseorang sebagai nilai tukar.
Pada tipe masyarakat industri dan kapitalis dewasa ini perlu dibedakan aspek “pasar”dan aspek “indiferensi” (mengabaikan keunikan setiap orang). Pada konteks masyarakat ini nilai tukar barang di pasar lebih penting daripada nilai pakai. Hidup masyarakat ditentukan oleh proses barter oleh seorang penjual kepada pembeli di dalam konteks ekonomi pasar yang mempunyai aturan-aturan barter tersendiri.
Manusiapun melihat diri sebagai “barang jualan” yang dalam persaingan dengan kongruen-kongruen lain hendak menjual diri sebaik mungkin di pasar kepribadian yang senantiasa berfluktuasi. Di pasar kepribadian itu setiap orang harus menjual diri seturut prinsip larisnya kepribadian tertentu yang dibutuhkan pada saat itu. Hal pokok ialah penampilan kepribadian manakah yang laku di pasar. “Citra” dan “penampilan” lahiriah menjadi seolah-olah hal yang esensial dan pokok. Sementara bobot atau substansi seseorang dianggap khayalan. Kesuksesan dilihat sebagai kemampuan menjual diri, apakah ia lancar meluncurkan “kepribadiannya” dan apakah penampilan yang baik dengan tuntutan sektor pasar tertentu. Nilai diri manusia tergantung dari “apakah laku di pasar”. (ibid., 54)
Orientasi pasar memiliki beberapa konsekuensi; pertama, keunikan dan kekhususan individu disamakan saja dengan nilai tukar dan yang kedua, hubungan antar-manusia menjadi dangkal dan formal. Saya adalah apa yang diinginkan orang lain (i am what you desire) bukan apa yang ingin saya jalani (i am what i have to be or to do). Dalam cara pandang ini, seseorang sangat tergantung pada kondisi-kondisi di luar kontrolnya. Jika “sukses” ia merasa bernilai, jika tidak ia merasa diri tidak bernilai dan tidak laku. Tingkat ketidakamanan sangat tinggi karena dirinya selalu membutuhkan konfirmasi dari luar. Ia terasing dari daya-daya kemampuannya sendiri sebagai suatu entitas yang independen. Prestise, status, dan kesuksesan merupakan pengganti bagi identitas diri yang sejati. Di sini orang terasing dari kebahagiaan karena didikte oleh pasar.
Visi humanistik
Tempo mencatat bahwa di Indonesia telah berkembang banyak perguruan tinggi swasta yang menghasilkan lulusan “layak pasar”: bisa langsung terserap pasar kerja, atau lebih baik lagi dapat menjadi wirausaha pencipta lapangan kerja. (bdk. Tempo, 25 April 2010, 60) Misalnya saja, Universitas pelita Harapan, Prasetiya Mulya Business School, Universitas Bakrie, Universitas Ciputra, Kampus Global, Universitas Ma Chung, dsb. Mereka adalah lembaga–lembaga pendidikan yang bervisi pasar dengan menggabungkan misi komersial dan visi pendidikan untuk menjawabi tuntutan-tuntutan pasar global. Para pendirinya juga adalah kaum konglomerat yang merupakan pemain-pemain pasar yang handal. Kata kuncinya yaitu pendidikan kewirausahaan yang mencipta corporate man, pemain pasar yang sukses. Tentu saja ini merupakan perkembangan positif bagi dunia pendidikan kita. Tetapi visi pasar seperti ini tidak cukup memadai secara antropologi filosofis kalau tidak merangkum visi pendidikan yang humanistik.
Marcuse menunjukan ketertundukan manusia pada rasionalitas teknologis yang menghasilkan alienasi karena manusia tercabut dari akar identitasnya di mana ia diatur oleh mekanisme pasar. Instrumentalisasi dan operasionalisasi memang tak bisa dihindari, terlebih lagi dalam dunia pendidikan. Namun pendidikan berorientasi pasar akan lemah karena kurang melihat efek lebih lanjut pada manusia itu sendiri. Analisis Fromm lebih tajam, ia mencacat bahwa dalam orientasi pasar manusia akan terasing dari daya-daya kreatifnya yakni cinta dan karya yang bisa membuat dia menjadi produktif dan menciptakan tanggapan produktif dalam diri sesama. Orientasi produktif berakar pada cinta akan kehidupan (biofilia). Itulah being (mengada/menjadi) bukan memiliki. Sementara orientasi pasar akan menghasilkan individu yang acuh tak acuh, konformistis dan otomat serta cenderung menjauhkan diri dari identitas sejatinya sebagai manusia.
Akan menjadi terlampau ekstrim juga bila pasar dicap hanya sebagai locus alienasi atau sistem tunggal yang menindas dalam rasionalitas teknologisnya. Dunia modern dengan rasionalitas teknologisnya dan juga kiblat pasar adalah sebuah kondisi riil. Secara fenomenologis, pasar merupakan “hukum alamiah” dan di dalamnya kebutuhan-kebutuhan kongkret manusia diakomodir. Yang menjadi soal adalah bagaimana menempatkan manusia secara seimbang dalam konteks itu. Jangan sampai manusia hanya “berguna” sejauh menjadi instrumen pasar dan ditendang begitu saja ketika ia “tak bernilai” lagi. Jangan sampai keluhuran manusia hanya direduksi sebagai sarana belaka untuk melayani produksi. Jangan sampai kiblat yang berlebihan pada pasar akan menghasilkan dehumanisasi, penindasan pada karyawan, buruh, para pensiunan, atau keterasingan para profesional dalam lingkup hidup mereka. Jangan sampai corporate man yang diciptakan hanya akan menjadi pribadi yang tidak peduli akan tanggung jawab etisnya terhadap sesama dan lingkungan.
Solusi
Bagamaimanapun juga pendidikan berorientasi pasar harus juga merangkum visi pendidikan humanistik yakni pembentukan kepribadian integral. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan harus juga merangkum prinsip konsientisasi dan liberalisasi, visi tentang manusia dan alam yang seimbang dan utuh, serta mampu mengantipasi dehumanisasi. Kedua, pendidikan yang hanya memutlakan orientasi pasar harus diseimbangkan dengan aspek religius, aspek etis, aspek budaya, selain aspek lain seperti intelektual, emosional, dan psikomotorik. Ketiga, kesuksesan besar pribadi bukan hanya dilihat dari segi lahiriah dan material, tetapi kesuksesan sebagai sebuah langkah maju dalam mewujudkan kebaikan diri, masyarakat, dan manusia seluruhnya. Karena kesuksesan bukan hanya berarti karir yang gemilang, keuangan yang stabil, laku di pasar kerja, tetapi menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Keempat, pendidikan yang berkiblat monoaspek akan menjadi eksklusif karena hanya dijangkau kalangan berduit. Dengan demikian akan menyisihkan mereka yang dianggap kurang mampu baik secara intelektual maupun finansial. Untuk menjamin keadilan dan menghindari gheto pendidikan hendaknya mereka yang rentan dan miskin juga diakomodir. Bagi saya, “ menjadi manusia bukan hanya soal laku atau tidak laku, berguna atau tidak berguna, tetapi apakah saya sungguh mengaktualisir seluruh potensi kemanusiaan saya sehingga menjadi pribadi yang baik.”
Referensi:
Rm. Yoseph Nahak, PR, Psikologi Pendidikan, Kupang, FFA UNWIRA, 2009.
Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Erich Fromm, Masyarakat Bebas Agresivitas (penyunting: Agus Cremers), Maumere: Penerbit Ledalero, 2004.
Tempo, Edisi 19-25 April 2010.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan