Tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pahlawan merupakan figur yang dihargai dan dihormati karena kualitas kebaikan, kebenaran, keadilan dan keindahan yang ada dalam pribadinya. Ia juga dilihat sebagai pelaku atau aktor bahkan penentu sejarah. Kisahnya disimpan dalam arsip-arsip sejarah, kronik-kronik, catatan-catatan historis dan dalam buku-buku sejarah.
Monumen-monumen peringatan dibuat untuk mengenangkan jasanya sehingga membuat ia seolah-olah masih hidup walau sebetulnya telah mati. Sang hero diabadikan sebagai orang besar dan tokoh penentu dalam historigrafi suatu bangsa tertentu. Ada jargon yang disingkat dengan “Jas Merah”, artinya jangan sekali-kali melupakan sejarah. Pernyataan ini mengimplisitkan juga sebuah anjuran untuk tidak melupakan jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan bangsa.
Kisah kepahlawanan merupakan citra yang terpantulkan dari suatu “fantasi sosial”, karena sejarah tidak pernah terlepas dari konteks kehidupan konkrit masyarakat. Fantasi sosial itu berdiri di atas nilai-nilai yang dianut masyarakat. Nilai-nilai seperti keberanian, kegagahan, adil, baik, dan hikmat. Karena sang tokoh memiliki kualitas-kualitas yang demikian maka ia disebut sebagai pahlawan. Di situ lahirlah sebutan seperti, “pahlawan gagah berani”, “pahlawan pembangunan,” “pahlawan kemanusiaan”, “pahlawan kemerdekaan”, “pahlawan nasional”,“pembela orang kecil,”dsb.
Masih kuat teringat dalam ingatan pada masa sekolah dasar (SD) tentang pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di mana saya menjumpai tokoh seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Ditiro, R. A. Kartini, Cut Nyak Dien, Pattimura, Sultan Hassanudin, Jenderal Soedirman, dsb. Mereka disebut pahlawan karena telah memberikan sumbangan tenaga dan semangat dalam melawan penjajahan asing. Dari sini, sejarah identik dengan kisah kepahlawanan dan orang-orang besar.
Dalam sastra klasik kita bisa menemukan representasi fantasi sosial masyarakat tergambar dalam epos-epos herois, misalnya epos Homerik dan Ramayana. Di dalamnya kita menemukan penekanan kepahlawanan dalam dimensi keberanian khas ksatria yang terbatas pada “jatah” yang sudah digariskan nasip. Bila ada “kebaikan” etis yang ditawarkan, kebaikan itu hanyalah soal harga diri, “pembelaan nama bangsa dan negara”.
Filsuf Plato melihat pandangan ini sebagai kualitas kepahlawanan yang berada pada taraf thumos, artinya kebaikan yang bersandar pada suatu yang ambigu (kehendak para dewa), belum sungguh-sungguh secara rasional sebuah kebaikan yang benar, indah, dan mulia (I. Wibowo: 2010, 23). Di sini kepahlawan dilihat secara kapasitas fisik semata atau kepandaian bertempur. Pahlawan adalah penahluk dan pemenang yang menjadi aktor herois dalam suatu jalagan hidup mati. Ketika ia mati maka ia akan dikenang sebagai pahlawan.
Ide ini juga kepahlawan masa kini dikembangkan dalam bentuk game play station dan film–film hero. Dalam versi a la play station, pahlawan dilihat sebagai penahluk dan pemenang pada setiap level game sampai pada tingkat tertinggi dan sempurna. Kelincahan player memainkan stik dan dipadu dengan kemampuan otak plus insting untuk memainkan sang tokoh menjadi penentu untuk mencapai level kemenangan tertinggi. Dengannya tipe kepahlawanan ini tercermin dalam tokoh-tokoh game seperti Spiderman, Ultraman, Super Boy. Atau dengan media lain seperti film di mana kita menemukan heroisme a la Jet Lee, Van Dame, Cik Norris, Rambo, Ong Bak. Jangan heran kalau ada orang yang sangat mengidolakan para superhero tertentu karena mereka melihat fantasi kepahlawanan mereka terwujud dalam tokoh-tokoh itu. Memang geliat media digital dalam penyebaran heroisme virtual ini melanggengkan paham kepahlawanan hanya sebagai seorang; penahluk, pemenang, dan orang besar. Padahal ada sisi lain dari sejarah yakni kisah orang-orang biasa (orang kecil) yang sebenarnya luar biasa karena kualitas hidup mereka dapat menjadi ragi yang mengubah dunia.
Karakter kepahlawanan zaman sekarang juga diciutkan oleh paham terorisme. Terorisme dilihat sebagai suatu upaya martiria demi ajaran tertentu yang dianggap sebagai kebenaran mutlak. Meski penafsiran atas ajaran itu tidak selamanya membenarkan cara kekerasan, penghancuran, dan penghilangan nyawa orang lain untuk memenuhi tujuannya. Namun, bagi penganut paham ini aksi teror merupakan pengejahwantahan “kebenaran mutlak” yang mereka anut. Konsep kepahlawanan yang dikembangkan berupa penghargaan bagi mereka yang berani mati dengan bom bunuh diri atau sejenisnya untuk menghilangkan nyawa orang lain atau mengancurkan institusi lain. Pahlawan adalah yang mati sahid demi membela, mempertahankan, mengembangkan, dan mewujudkan ajaran teologis tertentu walau dengan cara yang tidak manusiawi. Padahal pahlawan yang sesungguhnya adalah mereka yang berani memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dan yang berani hidup, bukan berani mati.
Seorang sastrawan Roma bernama Cicero mengatakan, “Kita seharusnya melihat bahwa orang-orang pemberani dan berjiwa besar ditemukan dalam diri mereka yang melawan ketidakadilan, dan bukan pelaku ketidakadilan.” Di sini ide kepahlawanan tidak semata berkaitan dengan kemampuan tempur (hoplomaxia) melainkan juga kualitas pengetahuan (episteme) dan kebaikan (Phronesis). Kepahlawanan tidak hanya identik dengan pemenang pertempuran, penahluk wilayah, atau suatu upaya mati sahid demi suatu paham yang dianut meski paham itu dalam dirinya sesat, tapi kepahlawanan berkaitan secara mendasar dengan kualitas etis seseorang yakni pengetahuan (episteme), kebaikan (phronesis), dan tanggung jawab sosial (social responsibility). Dan dengan pengetahuannya seseorang dapat bertindak sesuai kebaikan. Kita mengenang tokoh seperti Mahatma Gandhi, Mathin Luther King, Mother Teressa dari Kolkata, Oscar Romero, Romo Mangun, Munir, dsb. Mereka sebenarnya orang-orang yang biasa, namun karena hidupnya yang luar biasa mereka menjadi dikenang banyak orang. Mereka disebut pahlawan karena merupakan pejuang-pejuang kemanusiaan yang memberi hidup mereka dengan total karena kecintaan terhadap umat manusia itu sendiri.
Pendidikan merupakan institusi yang membentuk karakter kepahlawanan dalam diri anak didik. Pertanyaan: karakter kepahlawanan yang macam mana yang seharusnya dikembangkan dalam kultur pendidikan? Kalau karakter kepahlawanan yang dikembangkan hanya berdimensi “tekhnik” semata yakni menjadikan orang sebagai “penahluk” dan “pencaplok”, maka proses itu akan menghasilkan generasi yang mengulang kembali sejarah penjajahan. Kalau dulu penjajahan oleh asing lewat imperealisme dengan politik pecahkan dan kuasai (divide et impera), maka mungkin sekarang generasi kini akan menjadi penjajah baru lewat tindakan korupsi, pelayanan publik yang buruk, kepemimpinan yang minus nurani, pemerkosaan terhadap hak-hak kaum kecil, dsb. Pahlawan yang dikembangkan mungkin akan merasa bangga dan gagah kalau membunuh dan menahlukan orang lain. Padahal tanpa pengetahuan yang baik orang yang pandai ilmu bela diri atau pandai membuat bom nuklir akan sangat berbahaya karena ia hanya berkembang dalam rasa bangga diri palsu dan citra diri yang ilusif. Sebab kemampuan teknis semata (yang juga bersifat rasional karena mengandalkan fungsi rasio) tanpa ada orientasi kepada kebaikan akan jatuh ke arah yang irasional.
Pengetahuan di sini bukan sekadar pengetahuan teoretis, melainkan pengetahuan yang dicapai setelah jiwa mengendalikan hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu untuk menahlukan dan mencaplok. Dengannya, kepahlawanan bukanlah privilese orang-orang yang berlaga di palagan hidup mati. Tindak heroik tidak lagi terutama ditentukan oleh kehebatan dan kedasyatan khas imajinasi kanak-kanak dengan play station-nya. Karakter kepahlawanan lebih dikaitkan dengan pengetahuan untuk bertindak sesuai kebaikan. Dia juga tak terlepas dari figur yang bijaksana, yang memiliki hikmat (sophia), yang dari situ lalu sebagai imbasnya memiliki hikmat/phronesis. Horizon kebaikan rasional menjadi acuan bagi pilihan-pilihan tindakan konkritnya.
Banyak orang-orang biasa namun luar biasa terlupakan dalam sejarah kita. Mungkin mereka adalah para guru sederhana, pengerajin tenun ikat daerah, korban tragedi kemanusiaan, sastrawan-sastrawan, seniman, dsb. Gaung perjuangan mereka memang tidak sebesar para tokoh-tokoh besar namun kesaksian mereka merupakan perjuangan hidup untuk mewujudkan nilai-nlai luhur dalam masyarakat. “Mereka setia dalam perkara-perkara kecil, dengan demikian mereka setia juga dalam perkara-perkara besar.” Mereka tidak tertulis dalam buku-buku sejarah karena sejarah identik dengan kisah kepahlwanan orang-orang besar. Ada yang bahkan menjadi korban manipulasi sejarah dan pelupaan sejarah. Sejatinyanya, sejarah ditulis dalam prespektif korban dan tentang orang-orang biasa.
Belakangan ini ada perdebatan tentang kelayakan status pahlawan salah satu tokoh tertentu di negeri ini. Ada pihak-pihak yang menolak karena sang tokoh dianggap sebagai biang keladi dari pelbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Banyak pula yang mendukung karena melihat jasa-jasanya terutama dalam bidang pembangunan ekonomi. Inti polemik ini bukan pada tataran status atau predikat melainkan pada objektivitas sejarah atau kejujuran tentang sejarah itu sendiri. Kepahlawanan bukan soal kebesaran tokoh atau karya besar yang ia buat tetapi berkaitan dengan integritas diri dan keselarasan diri sang tokoh. Persoalan bukan terletak pada dukungan mayoritas namun apakah seseorang setia mempertahankan kebenaran walau harus menentang arus utama. Keutuhan diri itu bersifat menetap dan bertahan dalam waktu yang lama. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Saatnya sejarah menulis tentang kepahlawanan orang-orang kecil dan biasa, karena kepahlawanan bukan privilese orang-orang besar. (*)
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan