Kawan Herman-Bimo, Dandik Katjasungkana merupakan alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Pada tahun 1998, menginjak semester akhir ia aktif di gerakan mahasiswa dan berperan dalam upaya pelengseran Presiden Republik Indonesia Soeharto.
“Sejak tahun 1998 akhir, setelah lulus kuliah, saya aktif di organisasi bernama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Secara khusus, saya menerapkan itu untuk mengadvokasi kawan-kawan yang hilang dan menjadi korban penculikan,” katanya.
Beberapa tahun belakangan, Dandik dan beberapa kawan membuat film dokumenter yang menceritakan secara khusus dua kawan yang hilang, yaitu Herman Hendrawan dan Petrus Bimo. Keduanya menjadi bagian dari 13 aktivis yang hilang sampai sekarang.
Herman Hendrawan merupakan mahasiswa Sosiologi Unair Surabaya angkatan 1990, sedangkan Petrus Bimo adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Unair Surabaya angkatan 1993. Herman Hendrawan diketahui hilang setelah diculik sekelompok aparat pada 12 Maret 1998 di Jakarta. Sedangkan, Petrus Bimo hilang misterius antara akhir Maret hingga awal April 1998. Tidak ada yang tahu penculik Petrus Bimo. Sebab, alat komunikasi yang dipakai mendadak tidak bisa dihubungi.
“Dulu kebetulan satu organisasi di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Film itu sudah di tahap akhir, kemungkinan Januari 2024 akan launching. Tapi, kami belum tahu, akan diadakan secara terbuka atau tertutup,” tuturnya.
Sebab, Dandik tidak mau isu-isu HAM dianggap sebagai recehan. Karena, kabar penculikan aktivis di masa Orde Baru dianggap sebagai isu-isu HAM musiman setiap 5 tahun untuk menjatuhkan salah satu Calon Presiden (Capres) Republik Indonesia, khususnya terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang.
“Padahal, isu-isu HAM sebetulnya bukan musiman, karena setiap minggu ada Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta. Kami akan tetap launching film dokumenter dengan resiko demikian (dianggap menunggangi salah satu Capres),” tegasnya.
Dewan Kehormatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Andri Arianto mengatakan bahwa kebebasan berpikir masyarakat di Indonesia sedang terancam.
“Misalnya, saya punya pemikiran yang berbeda. Kemudian, saya ditangkap. Sekitar tahun 1997-1999, banyak aparat negara yang membubarkan diskusi mahasiswa atas nama undang-undang,” katanya.
Ia menegaskan kondisi sekarang berbeda dengan masa Orde Baru. Beberapa tahun ini, justru kegiatan represif dilakukan dengan mengancam gerakan mahasiswa melalui Rektor di perguruan tinggi tersebut.
“Sudah tidak melarang atas nama undang-undang, namun dititipkan kepada pimpinan kampus. Apa yang terjadi hari ini, merupakan peringatan bahwa (penegakan) hak asasi manusia kita mengalami kemunduran,” pungkasnya.
Editor: Andre Yuris
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan