Aliansi masyarakat sipil global, CIVICUS sangat prihatin dengan risiko yang dihadapi para aktivis di wilayah Papua menyusul penetapan operasi kontraterorisme baru di wilayah tersebut sejak akhir April 2021. Pihak berwenang Indonesia harus memastikan bahwa operasi ini tidak mengarah pada pelanggaran HAM dan para aktivis tidak dijadikan target.
Pada 9 Mei 2021, polisi menangkap Victor Yeimo, seorang aktivis pro-kemerdekaan dan juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Yeimo selama ini amat vokal menyampaikan tentang situasi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia di Papua.
Yeimo diketahui saat ini ditahan di Markas Brimob di Abepura, dimana Yeimo ditangkap dan ditahan tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada tim kuasa hukum, termasuk ketiadaan akses komunikasi yang diberikan keluarganya.
Yeimo telah didakwa melakukan tindakan makar, menyiarkan informasi palsu, tidak menghormati bendera nasional dan tuduhan lain atas keterlibatannya dalam protes anti-rasisme 2019 di Provinsi Papua, di mana peristiwa protes anti rasisme 2019 juga melibatkan beberapa insiden kekerasan dan pembakaran.
Protes (2019) itu ditanggapi dengan kekuatan berlebihan dari aparat keamanan dan penuntutan hukum terhadap puluhan aktivis. Salah satu alasan penangkapan Victor Yeimo saat ini adalah keikutsertaannya pada sidang Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa dibulan Maret 2019; penangkapan ini merupakan bentuk pembalasan yang jelas atas aktivitas kampanye internasional Yeimo.
Informasi yang beredar dari sebuah organisasi sipil hak asasi manusia, Kapolda Papua, Mathius Fakhiri, telah mengatakan polisi masih “menggali” kasus yang menimpa Yeimo. Dengan iklim impunitas di wilayah Papua, para aktivis di sana tetap memiliki risiko tinggi untuk mengalami praktik penyiksaan dan penganiayaan sepanjang penangkapan dan penahanan.
“Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang kepada Victor Yeimo tampaknya hanyalah bentuk pembalasan, karena dia bersuara tentang pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan keamanan dan aktivisme politiknya. Kecuali pihak berwenang mampu memberikan bukti yang dapat dipercaya, bahwa Yeimo terlibat dalam kekerasan apapun, dakwaan terhadapnya harus dibatalkan dan Yeimo harus segera dibebaskan,” kata Josef Benedict, peneliti dari CIVICUS.
Operasi militer Indonesia di Papua semakin intensif dilakukan, merespons pembunuhan Kepala Badan Intelijen Negara wilayah Papua, Brigjen Gusti Putu Danny Nugraha, pada 25 April, di Kabupaten Puncak oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (WPNLA). Pasca pembunuhan, Presiden Joko Widodo memerintahkan pasukan keamanan Indonesia untuk menangkap setiap anggota kelompok yang bertanggung jawab atas kematian jenderal tersebut. Pemerintahan Jokowi kemudian menyatakan “kelompok kriminal bersenjata” yang tidak disebutkan namanya sebagai organisasi teroris, yang tampaknya mengacu pada eksistensi WPNLA.
“Penunjukan gerakan bersenjata sebagai teroris akan merusak resolusi konflik untuk perdamaian yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan tindakan ini hanya meningkatkan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan Indonesia di wilayah tersebut. Kebijakan ini juga akan membahayakan aktivis damai prokemerdekaan dan aktivis lainnya yang bekerja untuk mengakhiri konflik di Papua,” tambah Benedict.
Ada juga kekhawatiran tentang pemadaman internet di sekitar wilayah operasi militer, menurut kelompok organisasi sipil hak asasi manusia dilakukan secara sengaja oleh pihak berwenang. Pada 2019, pemerintah menutup layanan internet di wilayah Papua sepanjang berminggu-minggu aksi protes anti rasisme dilakukan.
Penutupan tersebut kemudian dianggap melanggar hukum oleh sebuah pengadilan di Jakarta. Diketahui selama beberapa tahun terakhir, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di wilayah Papua, dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia yang mencakup bentuk penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya serta pembunuhan di luar hukum, tindakan ini termasuk dialami oleh para aktivis, dengan alibi pemerintah untuk menekan separatisme.
Lusinan aktivis politik prokemerdekaan yang mengekspresikan diri secara damai telah dituntut secara hukum karena perbuatan makar (Pasal 106 dan 110 KUHP), akibat tindakan mengibarkan bendera Bintang Kejora – simbol kemerdekaan Papua – atau berpartisipasi dalam protes damai selama dua dekade terakhir. Akses para jurnalis asing dan pengamat hak asasi manusia untuk masuk ke Papua juga telah dibatasi.
Meskipun Presiden Joko Widodo terus berjanji untuk menangani situasi ketidakadilan yang dirasakan dan dialami oleh orang-asli Papua, mereka terus mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan eksploitasi di wilayah yang kaya dengan sumber daya tersebut.
Rangkaian penangkapan Aktivis di Papua juga turut menyumbang penilaian terhalang (obstructed) pada ruang sipil di Indonesia menurut CIVICUS Monitor.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan