Indra Surya Purnama, nama lelaki tersebut. Menginjak usia 29 tahun saat ini dia didapuk menjadi koordinator Cokro Bergerak. Ruangan dia berada tak seberapa luas. Cukup untuk ditempati beberapa kursi, rak berisikan buku-buku, meja, serta pojok podcast (siniar). Disebut pojok siniar sebab di sanalah Indra membuat konten diskusi yang disiarkan langsung bersama rekan-rekannya.
Poster Haji Oemar Said Cokroaminoto terpasang pada salah satu sisi dinding. Sosoknya menularkan kembali semangat berjuang dan pergerakan masyarakat yang tengah diupayakan oleh Indra bersama komunitasnya.
Cokro Bergerak sendiri dibentuk pada 2020, berawal dari Festival Hari Seni Cokro yang melibatkan berbagai komunitas. Berkat pertemuan rutin dan mengusung semangat yang sama, akhirnya para komunitas itu berinisiatif membuat kelompok baru yang kemudian diberi nama Cokro Bergerak.
Indra menuturkan sejarah berdirinya komunitas kreatif ini saat dijumpai di Warung Mbah Cokro, tempat mangkal mereka yang beralamatkan di Jalan Prapen Nomor 6, Surabaya, pada Senin (9/1/2023). Sebelumnya, area ini merupakan lapangan Niac Mitra yang diubah menjadi warung kopi tempat berkumpul dan berdiskusi berbagai komunitas.
Kini, Cokro Bergerak beranggotakan 13 orang pengurus. Kata Indra, komunitas ini berfokus pada gerakan sosial masyarakat. Mereka terbuka pada semua isu-isu seperti pendidikan, lingkungan, sosial, bencana, dan sebagainya.
“Kami memang tidak bekerja sama dengan stakeholder atau pemerintah. Gerakan yang kami upayakan cenderung merangkul masyarakat langsung,” tutur Indra.
Mereka memiliki kegiatan rutin seperti membuat pupuk kompos, menjual telur asin, bahkan memasarkan hasil-hasil panen petani dengan harga beli di atas para tengkulak. Alasannya, banyak petani yang ditipu oleh tengkulak. Hasil panennya dibeli dengan harga murah, yang kemudian dijual dengan harga tinggi.
“Kami mengambil peran pada hal itu. Dampak yang paling terasa, kami memperoleh respon baik dan berteman dengan petani,” jelas Indra.
Semangat perbaikan kondisi bangsa tidak berhenti di sana. Indra bermimpi untuk mengumpulkan orang-orang yang tak berdaya saling bertukar pikiran, sehingga kelak mereka memiliki semangat baru untuk bergotong-royong membangun demi kebaikan bersama. Untuk itu, kegiatan rutin diadakan dua kali seminggu, setiap Kamis dan Minggu.
Indra menuturkan, kelas terbuka digelar pada Kamis. Tema bahasan di kelas di antaranya mengenai filsafat dan budaya. Sedangkan kegiatan kelas terbuka tiap Minggu membahas tentang bahasa. Dari kelas terbuka bahasa itu, Indra kemudian berinisiatif membuat Kuputarung yang beranggotakan delapan orang sebagai pengurus redaksi.
Kuputarung
Kuputarung berbeda sama sekali dengan kegiatan Cokro Bergerak yang dipaparkan sebelumnya. Kali ini, kegiatan lebih berupa lembar sastra yang dimanfaatkan untuk mewadahi karya-karya dari masyarakat.
Mengapa sastra dijadikan sebagai tema utama pada kegiatan ini? Indra menjawab, alasannya supaya memudahkan orang-orang untuk turut berkontribusi. Cakupan sastra sendiri sungguh luas, namun Indra memilih puisi supaya lebih lunak atau fleksibel bagi siapa saja yang ingin bergabung dalam kegiatan Cokro Bergerak.
“Kalau bicara sastra murni akan rumit, jadi kami menyederhanakan menjadi menulis puisi,” terangnya.
Pemilihan nama Kuputarung diambil dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, berjudul Arus Balik. Namun, Indra berupaya memaknai nama Kuputarung sendiri sebagai pintu gerbang, pintu masuk, dan pintu untuk mempermudah siapa saja bergabung.
Lembar sastra terbit tiap sepuluh hari sekali dalam bentuk tulisan yang sudah dicetak di atas kertas berukuran A5. Setelah terbit 10 edisi, yang biasanya dikerjakan selama tiga hingga empat bulan, maka karya-karya puisi tersebut dikumpulkan menjadi antologi berbentuk buku. Hingga dua tahun berjalan dan memasuki lembar sastra edisi ke-30, Cokro Bergerak sudah meluncurkan tiga buku antologi puisi.
Untuk lembar sastra, Cokro Bergerak mengirim juga ke 20 warung kopi yang ada di Surabaya dan Sidoarjo. Setiap warung kopi, menerima minimal 10 eksemplar lembar sastra.
“Lima orang pengurus Cokro Bergerak merangkap tugas mendistribusikan lembar sastra ke warung-warung kopi tersebut,” jelas Indra.
Setelah berjalan beberapa waktu, Indra melihat banyak hal menarik yang ia temukan di lapangan. Mulai dari minat baca setiap daerah yang berbeda-beda, jumlah pengirim tulisan yang semakin bertambah banyak, hingga rentang usia pembaca lembar sastra Kuputarung.
“Pembacanya ada ibu rumah tangga, bahkan ada juga petani berusia sekitar 50 tahun yang ikut mengirim tulisan,” ujarnya.
Kurasi karya-karya tulisan yang dikirim ke lembar sastra Kuputarung hanya berpatok pada dua kebijakan yaitu tidak ada unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta tidak ada unsur pornografi. Semua karya yang masuk akan diterima dan dicetak asal tidak melanggar aturan yang telah ditentukan tersebut.
“Banyak teman-teman yang masih malu mengirim tulisan. Sebenarnya, Kuputarung ini bisa dimanfaatkan sebagai wadah karya mereka, tidak perlu minder,” ucap Indra.
Sementara itu, untuk anggaran produksi lembar sastra Kuputarung, Indra memakai uang simpanan Cokro Bergerak dari hasil menjual telur asin dan panen petani. Ia mengalokasikan 100 ribu rupiah untuk mencetak 200 lembar kertas. Selain itu, pemasukan mereka diperoleh dari menjual buku antologi Kuputarung yang harganya Rp28.000 per eksemplar atau menukar beras sesuai dengan besaran harga tersebut.
Indra menegaskan, nilai-nilai yang diusung Cokro Bergerak dan Kuputarung adalah kemandirian dan gotong-royong. Walaupun tulisan-tulisan di Kuputarung belum bisa sepenuhnya mempengaruhi kebijakan pemerintah, ia berharap kemandirian dan gotong-royong orang-orang yang turut bergabung Cokro Bergerak ini bakal menjadi kebiasaan positif yang bisa ditularkan ke orang banyak.
“Selama masih ada orang-orang yang peka dan mau berusaha, Indonesia masih ada. Saya optimis mengenai hal itu,” pungkasan.
Editor: Martha. Fotografer: Andre Yuris
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan