Permasalahan pendidikan familiar bagi banyak orang. Jika tiap orang secara acak ditanya tentang masalah pendidikan, mereka mungkin akan dengan mudah menjawabnya. Mulai dari mahalnya pendidikan, sekolah yang membosankan, pendidikan yang tidak merata, hingga berkurangnya nasionalisme, penggerusan budaya, sampai masalah kegagalan orang tua dalam mendidik anak menjadi isu hangat akhir-akhir ini.
Semua masalah pendidikan di atas seakan akan tidak ada ujung masalah atau benang merahnya. Padahal semua permasalahan ini terjadi karena adanya regenerasi masalah. Regenerasi masalah yang dimaksud adalah masalah demi masalah yang diturunkan ke generasi berikutnya tanpa adanya penyelesaian yang tuntas, penyelesaian hanya terjadi pada permukaan, tidak sampai ke akar masalah.
Jepang pernah mengalami masalah lingkungan hidup pada masa industri di era 60-an. Mereka menyadari bahwa masalah lingkungan ini tidak boleh terus menerus dibiarkan. Beberapa warga yang sadar mencoba untuk mengkampanyekan pentingnya kesadaran pelestarian lingkungan. Tetapi tidak hanya sebatas kampanye, pemerintah Jepang sadar akan pentingnya pola pikir yang baik dalam upaya pelestarian lingkungan. Maka dari itu, pemerintah Jepang melakukan gerakan yang massif dalam bidang pendidikan untuk anak-anak usia dini agar sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan. Mereka mulai menanamkan bagaimana mengelolah dan memilah sampah kepada anak-anak. Penanaman melalui pendidikan tersebut untuk mencapai alam bawah sadar mereka terkait pentingnya menjaga lingkungan. Ini jadi contoh bagaimana Jepang menyelesaikan masalah dengan melihat dan menyelesaikanya mulai akar masalah yaitu kesadaran.
Sebelum memasuki analisa masalah dan kemungkinan penyelesaian dari masalah tersebut, baiknya kita coba untuk mengartikan kembali apa itu pendidikan. Apakah pendidikan hanya terjadi pada sekolah saja? Proses pendidikan tidak hanya terjadi pada sekolah saja, proses pendidikan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Proses pendidikan berkaitan erat dengan umur dari manusia dan juga lingkungan tempat proses pendidikan berlangsung.
Dalam buku “Mendidik Anak Menuju Taklif” terdapat penjelasan tentang perkembangan fisik otak anak dan perkembangan intelektual anak pada umur tertentu. Hal ini sangat berhubungan dengan bagaimana anak menerima informasi dari berbagai arah yang bisa membentuk pola pikir serta karakter anak tersebut. Maka dari itu, lingkungan menjadi sangat penting diperhatikan dalam proses pendidikan pada anak. Pengetahuan mendidik anak pada usia berkembangnya intelektual anak jadi sangat penting bagi para pendidik.
Sebagai orang yang belajar arsitektur, saya mencoba mengkaitkan hubungan arsitektur dengan proses pendidikan. Ternyata kedua hal tersebut sangat berkaitan. Proses pendidikan merupakan jenis kegiatan, sedangkan arsitektur merupakan wadah dari kegiatan tersebut. Arsitektur yang menjadi wadah proses pendidikan tidak hanya semata-mata sebagai wadah atau tempat saja. Peran penting arsitektur dibuktikan oleh instalasi atau karya arsitektur yang dapat mengubah bagaimana manusia hidup dan berkembang, termasuk didalamnya proses belajar.
Agustin Rodriguez-Bachiller dengan bukunya Town Planning Education mengatakan perkembangan sebuah kota mempengaruhi sistem pendidikan yang ada dalam kota tersebut. Selain itu Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan, arsitektur adalah pencipta suasana, perkawinan guna dan citra. Ini mau mengatakan bahwa arsitektur bisa mempengaruhi manusia, bahkan perilakunya. Ungkapan lain dari Winston Churchill yang mengatakan “We shape our buildings, and afterwards, our buildings shape us”. Sehingga jelas bahwa arsitektur bisa mempengaruhi perilaku manusia karena dengan merancang bangunan yang akan menjadi tempat tinggal kita dan secara tidak langsung bangunan tersebut akan merancang kembali bagaimana kita cara kita beradaptasi dengan lingkunan tempat tinggal.
Di dunia arsitektur, terdapat organisasi yang peduli dengan dunia pendidikan. Organisasi ini bernama Architecture for Education Incorporated yang berbasis di California. Persatuan ini memberikan berbagai alasan mengapa mereka peduli akan “arsitektur pendidikan”. Salah satu pernyataan mereka mengenai arsitektur pendidikan adalah “We believe that educational opportunities abound in every environment. New learning pathways can be supported by incorporating educational components that are integral to the architecture, whether expressed in the buildings, paving surfaces or landscape.”, sehingga persatuan ini fokus dalam membangun fasilitas pendidikan terutama sekolah.
Dengan demikian jelas rasanya jika permasalahan pendidikan bisa dilakukan perbaikan lewat pendekatan lingkungan kemasyarakatannya. Pemberdayaan masyarakat untuk menyadarkan pentingnya pendidikan bisa jadi menjadi awal perbaikan pendidikan pada masyarakat Indonesia. Hal ini dilakukan karena tidak semua masyarakat menganggap bahwa pendidikan merupakan hal penting.
Tidak jarang kita mengetahui bahwa beberapa anak harus putus sekolah karena harus membantu menompang perekonomian keluarga. Hal ini kerap ditemui di beberapa tempat dengan tingkat persaingan ekonomi yang tinggi, salah satunya adalah daerah perkotaan. Contoh kawasan perkotaan yang kesadaran pendidikan cukup rendah berada adalah kawasan kumuh. Kawasan kumuh yang dimaksudkan disini adalah kurang layaknya lingkungan baik rumah maupun sekitarnya untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Situasi dan kondisi ini berpengaruh pada pola pendidikan dan proses pendidikan pada anak.
Keterbiasaan anak dengan lingkungan yang kurang baik akan membuat mereka berkembang menjadi anak yang melihat kekumuhan bukan sebagai menjadi. Mereka merasa nyaman dan aman dengan lingkungan tersebut. Hal ini yang akan terus diturunkan dari generasi ke generasi. Ini tentu masalah yang serius. Perlu ada suntikan kesadaran bahwa setiap individu harus berusaha keluar dan berupaya membangun lingkungan yang baik dari hari ke hari. Salah satu cara menyuntikan kesadaran itu adalah pendidikan yang menyeluruh, tidak hanya berdimensi ekonomi.
Memang tidak salah mereka jika ingin fokus dalam mengembangkan ekonomi keluarga. Tetapi saya yakin manusia diciptakan begitu kompleks untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kompleks pula. Maka dari itu, jika manusia dituntut untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan, harusnya bisa dan dapat dilakukan meskipun tidak mencapai kesempurnaan. Ini karena saya yakin manusa itu multi dimensi bukan satu dimensi.
Pola pikir manusia yang hanya terfokus pada satu titik tanpa mencoba melihat titik lain akan menjadi keliru. Manusia baiknya melebur pada segala aspek kehidupan untuk tercapainya kehidupan yang sejahtera. Untuk konteks ini, maka penting mengembangkan perekonomian, tanpa menegasikan pentingnya pendidikan, lingkungan, sosial, budaya, dan aspek lain mendukung kesejahteraan dan kelangsungan hidup bersama seperti yang diimpikan.
Oleh : Isna Rosyida Cahya (email: cahya.1911@gmail.com) Mahasiswa Arsitektur ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Surabaya. Aktivis ARKOM (Arsitek Komunitas) Jawa Timur. Peserta Sekolah Analisa Sosial (ANSOS) III 2018 yang diadakan oleh Nera Academia di Surabaya. Tulisan ini merupakan bagian dari proses Sekolah Ansos di mana tiap partisipan mengekspresikan keprihatinannya pada isu gender, pendidikan dan lingkungan.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan