Empat tahun lalu, pada Sabtu sore 19 September 2020, Pendeta Yeremia Zanambani (68) disiksa dan dibunuh secara tragis.
Yeremia disiksa dan ditembak mati di kandang babi miliknya yang terletak di Kampung Bomba, Distrik Hitadipta, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Saat itu, ia sedang mencari dua orang keponakannya, Apinus dan Luther Zanambani yang hilang dan dibunuh oleh sejumlah anggota TNI.
Pihak berwenang, baik polisi dan militer, awalnya membantah peristiwa tersebut. Kepolisian Daerah Papua saat itu sempat mengatakan insiden tersebut dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang ingin memancing perhatian global menjelang sidang umum PBB pada akhir bulan September 2020.
Nyatanya, setelah diselidiki oleh Komnas HAM, tim pencari fakta gabungan di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), dan tim investigasi independen aktivis dan tokoh masyarakat Papua yang tergabung dalam Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya dan dibentuk oleh Gubernur Papua, semuanya menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan itu dilakukan oleh aparat keamanan.
Hasil penyelidikan menyatakan Pendeta Yeremia meninggal akibat kehabisan darah setelah mengalami penyiksaan, berupa penembakan pada lengan kirinya dari jarak kurang dari 1 meter, dan atau tindak kekerasan lainnya.
Selain ditembak, Pendeta Yeremia juga mengalami tindak kekerasan berupa jeratan, baik menggunakan tangan ataupun alat, seperti tali, dan lain-lain untuk memaksa korban berlutut yang dibuktikan dengan jejak abu tungku yang terlihat pada lutut kanan korban.
Investigasi Komnas HAM menyatakan bahwa seorang anggota TNI bernama Alpius, Wakil Komandan Koramil Persiapan Hitadipta, berdasarkan keterangan dari istri korban dan saksi-saksi lainnya, diduga sebagai pelaku penembakan. Hal yang sama juga diutarakan oleh Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya.
Sebelumnya, Menko Polhukam saat itu, Mahfud Md, saat membacakan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah pada 21 Oktober 2020 mengatakan peristiwa tewasnya pendeta Yeremia Zanambani diduga melibatkan oknum aparat.
Empat tahun berlalu, pengusutan kasus yang melibatkan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu jauh dari kata tuntas, keadilan belum terpenuhi, dan kekerasan masih berlangsung di Tanah Papua. Kepada Amnesty Internasional Indonesia, seorang pemimpin gereja di Papua, yang berkomunikasi langsung dengan pihak keluarga korban tak lama setelah kejadian itu -menyebut kekerasan itu dilakukan oleh aparat TNI.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan “Nasib yang dialami Pendeta Yeremia menjadi satu dari sekian banyak kasus pembunuhan di luar hukum di Tanah Papua yang melibatkan aparat militer dan jauh dari penyelesaian yang benar dan efektif. Pengusutan kasus ini tidak tuntas dan tidak memenuhi rasa keadilan,”
“Petinggi TNI yang seharusnya turut bertanggung jawab atas kasus pembunuhan ini belum tersentuh oleh hukum sama sekali. Ini menunjukkan adanya ketidakadilan dan ketidakseriusan Negara dalam menangani kasus ini,” lanjut Usman.
Namun proses hukum atas kasus pembunuhan itu berjalan lamban dan tertutup setelah kasusnya dilimpahkan ke pengadilan militer, bukan pengadilan umum. TNI berdalih karena kasusnya melibatkan anggota mereka, maka harus diproses lewat peradilan militer, dengan berkukuh menggunakan UU Peradilan Militer yang dibuat pada masa Orde Baru.
Padahal pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menempatkan tentara dalam ranah wewenang peradilan sipil untuk pelanggaran berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus pembunuhan Pendeta Yeremia seharusnya diadili melalui peradilan umum.
Sidang kasus pembunuhan atas Pendeta Yeremia baru dimulai pada 4 Juli 2022 di Pengadilan Militer III-19 Jayapura dengan mendakwa tiga prajurit TNI Angkatan Darat, yaitu Kapten Saiful Anwar, Serka Alex Ading, dan Pratu Moh. Andi Hasan Basri.
Pada sidang putusan tanggal 30 Juni 2023, ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama. Namun mereka hanya dihukum satu tahun penjara dan membayar biaya perkara Rp20.000 bagi Saiful Anwar, Rp15.000 bagi Alex Ading, dan Rp10.000 bagi Andi Hasan Basri.
Putusan Majelis Hakim ini berbeda jauh dengan tuntutan dari oditur militer agar ketiga terdakwa dipidana penjara selama 15 tahun dan dipecat dari dinas TNI AD, sehingga oditur militer mengajukan banding. Namun hal itu tidak berbuah hasil setelah Majelis Hakim Banding pada sidang 25 Mei 2023 menguatkan Putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor 186-K/PM.III-19/ AD/VI/2022 tanggal 30 Januari 2023, untuk seluruhnya.
“Proses hukum atas kasus pembunuhan Pendeta Yeremia itu menunjukkan bahwa impunitas masih dilanggengkan. Para prajurit TNI diadli tidak melalui proses pidana di pengadilan sipil sebagaimana diatur dalam undang-undang,” kata Usman.
Tidak mengherankan jika pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan masih terus terjadi di Tanah Papua, bahkan setelah pembunuhan Pendeta Yeremia.
Amnesty mencatat, dari 3 Februari 2018 hingga 20 Agustus 2024, terdapat sedikitnya 132 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua yang menewaskan setidaknya 242 warga sipil. Sebagian besar kasus itu dilakukan oleh aparat keamanan, yaitu 83 kasus dengan 135 korban.
Pembunuhan di luar hukum yang masih berlangsung ini dikhawatirkan memperburuk ketegangan dan kekerasan yang dialami oleh masyarakat sipil Papua, khususnya Orang Asli Papua, yang tidak bersalah dan terus menjadi korban kekerasan aparat keamanan.
“Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997″ lanjutnya.
Usman mendorong, revisi ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.
“Hanya dengan langkah ini kita dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut,” lanjutnya
Selain itu, Amnesty mendesak pemerintah segera menghentikan operasi militer di Tanah Papua yang kerap memicu kekerasan dan pembunuhan di luar hukum terhadap masyarakat sipil.
“Keberadaan aparat militer di Tanah Papua, alih-alih menciptakan keamanan, justru terus mengancam nyawa Orang Asli Papua dan memperparah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun,” tegas Usman. (RLS)
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan