“Tinggal beliin dia kacamata terus bawa ke apim salon. Gampang, kan? Aku bisa sulap dia kalau dia mau,” ujarku dengan santai sambil memandang pramusaji itu dari kejauhan.
Katanya, semesta itu suka bercanda. Kedua kalinya aku bertemu dengan pramusaji yang sama. Dia belum sadar juga kalau aku yang kemarin datang bareng beban hidupku, Fathir teman dekatku. Dan bertemu kembali ketiga kalinya saat aku memilih untuk menggarap naskahku di gerai tempat kerjanya itu.
Seseorang memanggil namaku. Aku bergegas mengambil pesananku.
“Haiii…” pramusaji itu menyapaku sambil melempar senyumannya.
Omaaakkk… Debar kali kurasa. Bayangkan, manusia yang selama lima tahun terakhir dalam hidup ini hanya sibuk menulis setiap hari memandangi layar laptopnya, tiba-tiba harus berhadapan dengan sepasang mata milik seorang wanita bagai bidadari tepat di depan mataku.
“Baru pulang kerja, ya?” tanya pramusaji itu mengira aku karyawan kantoran karna pakaianku terlalu rapi walau tanpa id card. Sempat ragu buat mengakui kalau aku ini seorang penulis.
“Oh… Aku tukang potong rumput, iya nih baru pulang kerja. Hehehe…” candaku. Sebuah upaya untuk mencairkan suasana. Aku pura-pura cengengesan ikut tertawa dengannya sambil menganalisa dirinya. Sialnya, matanya memancarkan cinta. Pupil matanya membesar. Ternyata dia menandaiku. Namun mungkin waktu itu dia masih merasa belum yakin untuk memulai obrolan.
Aku kembali ke tempat dudukku dan fokus menggarap naskahku. Sesekali mataku mengarah ke meja bar tempat dirinya berdiri melayani pelanggan yang ingin memesan. Pandanganku masih saja belum berpaling. Sesuatu mengecohkan isi pikiranku. Aku teringat kembali dengan perkataan si beban hidupku, Fathir. Betul, wanita itu hanya seorang pramusaji.
Tapi….
Ada yang sesuatu yang berbeda dari dirinya. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Selama lima tahun terakhir aku hidup tanpa cinta. Layaknya hidup di padang pasir. Project list membawaku dalam perjalanan risetku hingga akhirnya bertemu dengan seorang wanita yang mampu membuka pintu usang milikku yang sudah terkunci selama bertahun-tahun.
Tiga November di Kalingga. Kalian tahu siapa wanita yang aku maksud itu.
Walaupun tidak membuahkan hasil sesuai ekspetasi namun aku belajar banyak dari pengalaman itu. Seseorang bisa saja memiliki perilaku tidak baik walau dia berlatar belakang pendidikan yang sangat tinggi. Seseorang dengan derajat tinggi mungkin merasa dirinya sangat pantas dihormati hingga hal itu berubah menjadi sebuah keharusan dan kehausan bagi dirinya.
Lalu wanita sederhana ini hadir…
Sialnya, aku lupa menanyakan namanya. Aku masih saja terus memikirkannya. Menebak siapa nama dia yang sebenarnya. Keesokkan harinya, aku berencana untuk menggarap naskahku di gerai itu lagi. Namun mungkin semesta tidak berpihak padaku hari itu. Aku tidak menemukannya. Seorang pelayan lainnya mengatakan bahwa wanita tersebut libur pada hari itu.
“Kalau lagi libur begini, dia lagi ngapain ya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Lagi dan lagi aku menebak dia sedang apa, dimana kediamannya, dan dengan siapa dia hidup di kota Medan ini.
Aku semakin menyukai setiap sudut dan sisi gerai ini. Di tempat ini aku menggarap naskahku kalau merasa suntuk melihat tembok rumahku. Ini belum selesai, kita harus tahu siapa nama wanita pelayan donat itu.
Bersiap untuk pergi, aku memandang ke arah cermin sambil berkata hari ini adalah hari keberuntunganmu. Kau akan bertemu kembali dan mengetahui nama sebenarnya wanita itu. Aku tersenyum memandang seseorang di cermin itu, diriku.
Aku membuka perlahan pintu masuk gerai tersebut. Dan mataku langsung memandang ke arah seorang wanita berambut panjang yang sedang sibuk pada etalase kaca donat itu. Aku berdiri disini menunggunya sampai dia menyadari seseorang ingin memesan “donat cinta” seperti sebelumnya yang pernah aku pesan.
“Eh… Haiii… Mau pesen apa?” ucapnya sambil memasang wajah kaget karna kami bertemu lagi. Hingga akhirnya aku mengatakan yang sebenarnya.
“Hari ini kamu nggak kerja?” tanyanya.
“Aku penulis. Kamu kira aku kerja kantoran, ya?” balasku sambil tertawa kecil.
“Iya, soalnya sore kemarin aku liat rapi banget. Pagi ini juga rapi banget. Mau kemana emangnya?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Nggak kemana-mana sih, mau ngegarap naskah doang. Tembok rumahku bosen banget ngeliat aku dirumah mulu. Makanya aku kesini deh…”
Dia tertawa lebar. Apakah semua bidadari cara tertawanya seperti ini?
“Aku boleh tau nama kamu siapa?” Dengan penuh keberanian aku bertanya. Karna biasanya aku sangat pemalu dan gugup jika berhadapan dengan wanita. Tapi kali ini tidak, kesempatan tidak akan datang dua kali. Jangan sia-siakan…
“Oh iya ya, udah beberapa kali ketemu masih belum tau nama. Namaku Nadha..”
Dia mengulurkan tangannya seolah mengisyaratkan agar aku menjabat tangannya. Kenapa aku harus menolak rejeki? Aku langsung menjabat tangannya. Lagian udah lama tidak bersentuhan dengan wanita, jadi jangan sia-siakan selama belum punya gandengan. Hehehe…
Sesudah memesan aku berjalan ke arah meja yang tidak jauh dari dirinya. Sambil menyalakan laptopku, sial pandanganku susah lepas dari dirinya. Hingga akhirnya dia menghampiriku sambil membawa pesanan sarapan pagiku.
“Ini pesenannya, sarapan buat seorang penulis..” candanya.
Harusnya dia tidak perlu repot-repot mengantar pesananku, cukup memanggil namaku aja dari meja bar itu meski aku terlihat sibuk dengan naskahku.
“By the way, aku suka baca novel lho..” ujarnya tiba-tiba. Dia berhasil membuatku kaget. Apakah aku berhasil menemukan seseorang yang se-frekuensi dengan diriku?
Sejak hari itu aku jadi lebih sering menghabiskan waktu menggarap naskahku di gerai donat tempat Nadha bekerja. Kabar baiknya adalah kami semakin jadi dekat.
Percaya nggak percaya, sekeras apapun upaya untuk menghindar dari sesuatu yang ditakdirkan untukmu, semesta malah selalu punya cara untuk dia menemukanmu. Dan mempertahankan seseorang yang ingin pergi darimu adalah sia-sia.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan